Kamis, 16 Juni 2016

Makalah Tentang Peranan Sekolah Dasar Sebagai Lembaga Pengembangan Pendidikan Multikultural

BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar belakang
Pendidikan berlangsung sepanjang hayat dan berwujud pengalaman hidup dari berbagai lingkungan budaya. Pendidikan dan pembudayaan yang diperoleh di sekolah di samping di rumah, di masyarakat sangat mempengaruhi perkembangan individu selanjutnya. Pendidikan ini tidak bebas nilai, tetapi sarat dengan nilai, termasuk nilai budaya.


 Pendidikan yang bernuansa budaya itu berlangsung sejak anak usia dini berlanjut sampai pada jenjang pendidikan lebih lanjut bahkan sampai akhir hayat. Hal ini berarti anak Sekolah Dasar perlu dikenalkan bahwa dirinya merupakan bagian dari neka budaya yang ada di lingkungan terdekat dirinya yaitu budaya sekolah. Untuk mengenalkan anak didik kita dengan budaya tersebut maka sekolah Dasar perlu dimodelkan sebagai lembaga budaya di mana siswa bisa dapat beradaptasi secara alamiah dan berbudaya.
Pada makalah ini akan  mempelajari  Peranan  Sekolah  Dasar  Sebagai Lembaga Pengembangan Pendidikan Multikultural.

B.  Rumusan masalah
1.    Bagaimana peranan sekolah dasar sebagai sistem sosial?
2.    Bagaimana peranan sekolah dasar sebagai  lembaga pengembangan budaya?

C.  Tujuan penulisan
1.    Untuk mengetahui peranan sekolah dasar sebagai sistem sosial.
2.    Untuk mengetahui peranan sekolah dasar sebagai  lembaga pengembangan budaya.




BAB II
PEMBAHASAN

A.  Peranan Sekolah Dasar Sebegai Sistem Sosial
Lingkungan sekolah secara keseluruhan merupakan suatu sistem yang terdiri dari sejumlah variabel dan faktor utama yang dapat diidentifikasi sebagai budaya sekolah, kebijakan dan politik sekolah, dan kurikulum formal dan bidang studi.
Variabel dan faktor sekolah sebagai sistem sosial itu antara lain :
1. Kebijakan dan politik sekolah
Dengan era KTSP kebijakan dan politik sekolah sangat menentukan ke arah mana anak didik akan dikembangkan potensinya.
2. Budaya sekolah dan kurikulum yang tersembunyi (hidden curriculum)
Budaya yang berlangsung di sekolah dan kurikulum yang tersembunyi (hidden curriculum) sangat menentukan kepribadian yang dikembangkan pada lingkungan   sekolah.   Keunikan   budaya   sekolah   dapat   dibaca   sebagai keunggulan  komparatif.
3. Gaya belajar dan sekolah
Gaya belajar dan sekolah ikut mewarnai pembelajaran yang berlangsung di sekolah itu. Gaya belajar siswa hendaknya diperhitungkan oleh sekolah dalam pembuatan kebijakan dan dalam menciptakan gaya (style) sekolah itu dalam menciptkan kondisi belajar yang nyaman dan akrab dengan kondisi siswa. Tentu tidak sama gaya sekolah perkotaan dengan segala fasilitasnya dengan gaya sekolah pedesaan.
4. Bahasa dan dialek sekolah
Bahasa dan dialek sekolah di sini berkaitan dengan bahasa dan dialek yang digunakan di sekolah di mana sekolah itu berada. Sekolah yang ada di Madura tentunya,  disadari  atau  tidak,  akan  mempengaruhi  budaya  anak  didiknya karena dalam keseharian guru dan siswa itu akan berkomunikasi lewat bahasa Madura atau minimal logat dialek Madura yang kental. Sekalipun menggunakan bahasa Indonesia, kita akan dengan mudah mengenali budaya anak didik dengan mengenal bahasa dan dialek yang digunakan siswanya.
5. Partisipasi dan input masyarakat
Partisipasi  dan  input  sekolah  ikut  menentukan  arah  kebijakan  dan  iklim sekolah yang akan dikembangkan. Peranan Komite Sekolah sangat bervariasi di tiap-tiap sekolah dasar. Bila kesadaran masyarakat akan pendidikan tinggi dan komite sekolah dipimpin oleh orang yang memiliki wawasan pendidikan yang baik maka sekolah itu akan banyak mendapat bantuan dari masyarakat, baik  dana  maupun  pemantauan  ke  arah  pengembangan  sekolah  ke  depan.
6. Program penyuluhan/konseling
Program bimbingan dan penyuluhan/konseling akan berperanan dalam membantu  mengatasi  kesulitan  belajar  pada  anak,  baik  itu  anak  yang mengalami kelambatan belajar maupun anak yang memiliki bakat khusus.
7. Prosedur asesmen dan pengujian
Memang saat ini, kita masih belum boleh melakukan prosedur asesmen dan pengujian  sendiri  untuk  mata  pelajaran  yang  diujikan  dalam  UAN  (Ujian Akhir Nasional), namun kita bisa mengembangkan pada mata pelajaran yang bukan termasuk dalam UAN. Asesmen dan pengujian tidak identik dengan duduk di kelas dan mengerjakan soal dalam bentuk paper-pencil test. Asesmen bersifat holistik yang menggambarkan kemampuan aktual keseharian anak.
8. Materi pembelajaran
Materi pelajaran pada semua bidang studi atau bidang yang paling cocok dapat memasukkan materi budaya itu dalam pembelajaran. Perlu ada bidang studi Pendidikan Multikultural tersendiri di sekolah dasar untuk lebih mengenalkan budaya secara lebih terencana, terorganisir dan matang, bukan sekedar dititipkan pada materi yang ada pada bidang studi yang lain.
9. gaya dan strategi mengajar
Gaya dan strategi mengajar guru akan turut menentukan pendidikan anak didiknya. Guru yang sedang mengajar anak didiknya tentunya  sarat  dengan  nilai  budaya.

Dia  memiliki  ideologi  dan  nilai-nilai budaya yang diperoleh sepanjang hidupnya. Hal itu tentunya sangat mewarnai gaya dan strategi mengajar yang dia gunakan di sekolah.
10. Sikap, persepsi, kepercayaan dan perilaku staf sekolah
Sikap, persepsi, kepercayaan dan perilaku staf sekolah juga mempengaruhi kinerja sekolah. Seluruh staf yang mendukung pembelajaran akan sangat membantu menciptakan kondisi pembelajaran yang diinginkan dan begitu juga sebaliknya.

B.  Peranan Sekolah Dasar Sebagai Lembaga Pengembangan Budaya
Multikutural adalah suatu realita masyarakat dan bangsa Indonesia. Realita tersebut memang berposisi sebagai objek dalam proses pengembangan perencanaan dan  pelaksanaan  pendidikan,  termasuk  di  dalamnya  Pendidikan  Multikultural. Tetapi posisi sebagai objek yang terabaikan dalam pengembangan perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran ini berubah menjadi subjek yang menentukan dalam implementasinya. Sekalipun sebenarnya multikultural menjadi penentu dalam implementasi tetapi tetap tidak dijadikan landasan ketika guru mengembangkan pembelajaran. Padahal multikultural itu berpengaruh langsung terhadap kemampuan guru dalam melaksanakan pembelajaran, kemampuan sekolah dalam memberikan pengalaman belajar, dan kemampuan siswa dalam proses belajar serta mengolah informasi menjadi sesuatu yang dapat diterjemahkan sebagai hasil belajar.
Oleh karena itu, multikultural tersebut harus menjadi faktor yang dipertimbangkan dalam penentuan filsafat,  teori, visi, pengembangan pembelajaran pendidikan, termasuk di dalamnya Pendidikan Multikultural.

1.    Multikuitural Sebagai Landasan Pembelajaran
Kebudayaan  adalah  salah  satu  landasan  pengembangan  dalam  kurikulum (Taba, 1962) karena menurut Ki Hajar Dewantara akar pendidikan suatu bangsa adalah kebudayaan. Wloodkowski dan Ginsberg (1995) menyatakan bahwa kebudayaan adalah dasar dari motivasi intrinsik dan mengembangkan  model  belajar  yang  komprehensif  dalam  arti  pengajaran  yang responsif terhadap kultural. Model ini merupakan pedagogi lintas disiplin dan lintas budaya.
Pendidikan Multikultural digunakan oleh pendidik untuk menggambarkan kegiatan  dengan  siswa  yang  berbeda  karena  ras,  gender,  kelas,  atau ketidakmampuan. Tujuan kemasyarakatan pendekatan ini adalah untuk mengurangi prasangka dan diskriminasi terhadap kelompok yang tertindas (oppressed groups), bekerja atas dasar kesempatan yang sama dan adanya keadilan sosial pada semua kelompok, serta distribusi kekuasaan yang adil di antara anggota kelompok budaya yang berbeda. Pendekatan Pendidikan Multikultural mencoba mereformasi proses persekolahan secara keseluruhan tanpa memandang apakah sekolah itu sekolah pinggiran yang terbelakang atau sekolah kota yang maju.
 Berbagai praktek dan proses di sekolah direkonstruksi kembali sehingga menjadi model sekolah yang berdasarkan persamaan dan pluralisme. Berbagai praktek dan proses di sekolah direkonstruksi kembali sehingga menjadi model sekolah yang berdasarkan persamaan dan pluralisme. Misalnya, pembelajaran diorganisir seputar konsep disiplin namun materi rincian dari konsep itu disajikan dari pengalaman dan perspektif dari berbagai kelompok berbeda. Pembelajaran tidak memakai lagi pengelompokan berdasarkan kekuatan siswa dan tidak ada lagi praktek yang membeda-bedakan siswa. Siswa didorong untuk menganalisa isu lewat sudut pandang yang berbeda.
Andersen  dan  Cusher  (1994:320)  mengatakan  bahwa  multikultural  adalah pendidikan mengenai keragaman kebudayaan. Posisi  kebudayaan menjadi sesuatu yang  dipelajari;  jadi  berstatus  sebagai  obyek  studi.  Dengan  perkataan  lain, keragaman  kebudayaan  menjadi  materi  pelajaran  yang  harus  diperhatikan  para pengembang      pembelajaran.      Ini      disebut      belajar      tentang      budaya.
pendekatan multikultural harus membantu para pengembang dalam mengembangkan prinsip- prinsip perencanaan dan pelaksanaan, dan dapat memaksimalkan potensi siswa dan lingkungan budayanya sehingga siswa dapat belajar dengan lebih baik. Artinya, pengertian pendekatan multikultural harus dapat mengakomodasi perbedaan kultural peserta didik, memanfaatkan kebudayaan itu bukan saja sebagai sumber konten, melainkan  juga  sebagai  titik  berangkat  untuk  pengembangan  kebudayaan  itu sendiri, pemahaman terhadap kebudayaan orang lain, toleransi, membangkitkan semangat  kebangsaan  siswa  yang  berdasarkan  bhinneka  tunggal  ika, mengembangkan perilaku yang etis, dan yang juga tak kalah pentingnya adalah dapat memanfaatkan kebudayaan pribadi siswa sebagai bagian dari entry-behavior siswa sehingga dapat menciptakan "kesempatan yang sama bagi siswa untuk berprestasi"  (Boyd,  1989:  49-50).  Artinya,  pengertian  pendekatan  multikultural dalam pembelajaran haruslah menggabungkan pengertian Pendidikan Multikultural sebagai landasan pengembangan, di samping sebagai ruang lingkup materi yang harus dipelajari. Hal ini disebut belajar dengan budaya.

2.    Perencanaan Pembelajaran Pendidikan Multikultural
Proses pengembangan perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran pendidikan multicultural haruslah meliputi tiga dimensi  yaitu sebagai ide, sebagai langkah kerja opersional (gerakan) dan sebagai proses. Ketiga dimensi pendidikan multikutural ini berkaitan satu dengan lainnya. Pembelajaran pendidikan multicultural sebagai  proses dilaksanakan dengan berbagai langkah kerja operasional sebagai gerakan. Langkah kerja operasional tersebut merupakan operasionalisasi perencanaan dan pelaksanaan Pendidikan Multkultural sebagai ide.
Pengembangan ide berkenaan dengan penentuan filosofi. Model pembelajaran yang digunakan pendekatan dan teori belajar yang digunakan. Pendekatan model evaluasi hasil belajar dan pendidikan multicultural. Pengembangan langkah kerja operasional didasarkan pada ide yang sudah ditetapkan sebelumnya. Secara teknis pengembangan perencanaan dan pelaksanaan  sebagai langkah kerja operasional berkenaan dengan keputusan tentang informasi dan jenis dokumen yang akan dihasilkan. Bentuk format silabus, Rencana Pelaksanaan Pembelajaran­ harus dikembangkan. Pengembangan pembelajaran sebagai ide dan langkah kerja operasional  diperlukan sosialisasi agar terjadi kesinambungan pemikiran-pemikiran para pengambil keputusan pelaksanaan dengan para pengembang teknis di lapangan. Uji coba kurikulum 2004 berdasarkan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) yang sebenarnya bagus itu telah mengalami reduksi pengurangan. Penafsiran yang beragam dan penyimpangan dalam pelaksanaan sehingga sampai di bawah “diplesetkan” (maklumlah sejarang disebut jaman plesetan!!) menjadi Kurikulum Bingung Kabeli (KBK).
Untuk konteks otonomi, pengembangan ide dan pelaksanaan pembelajaran dari pusat lebih banyak berisikan prinsip dan petunjuk teknis sedangkan kewenangan dalam pengembangan yang lebih operasional dan rinci diberikan kepada daerah. Pada konteks sentralisasi, pengembangan perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran sebagai ide dan pelaksanaan pembelajaran memang tetap ada pada pusat tetapi harus tetap memberikan ruang yang besar bagi daerah untuk memasukan karakteristik budayanya.
Dengan pemberlakuan kurikulum baru. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), prinsip dan petunjuk teknis yang mengandung rambu-rambu pembelajaran sebagai ide dalam bentuk silabus dikembangkan pada tingkat nasional sedangkan pengembangan yang lebih operasional dan rinci diberikan pada tingkat satuan pendidikan (sekolah) dalam bentuk Rencana Pelaksaanan Pembelajaran (RPP). Proses sosialisasi ide yang telah ditetapkan ditingkat pusat perlu dilakukan. Dengan pemberlakuan ktsp ini. Pendekatan multikultural tingkat rincian dapat dilakukan dengan memperhitungkan keragaman kebudayaan di wilayah tersebut yang menjadi lingkungan eksternal sekolah sekolah yang ada. Namun pendekatan muktikultural melalui KTSP ini dapat dilakukan dengan baik jika daerah telah memiliki tenaga pengembang yang cukup dan sudah berpengalaman. Upaya kea rah pemahaman yang benar tentang KTSP dan pendekatan multicultural tetap perlu terus dikembangkan sehingga tidak timbul kesalahan seperti piramida terbaik. Artinya di tingkat atas, pemahaman idenya lengkap dan bagus tetapi begitu turun semakin kebawah menjadi semakin kurang dan semakin menyimpang sehingga pada gilirannya hanya tinggal ujungnya saja.
Pengembangan perencanaan dan pelaksanaan sebagai proses terjadi pada unit pendidikan dalam hal ini adalah sekolah. Pengembangan ini haruslah didahului oleh sosialisasi agar para pengembang (guru ) dapat mengembangkan perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran, proses belajar dikelas dan evaluasi sesuai dengan prinsip pendekatan multicultural. Sosialisasi yang dilakukan haruslah dilakukan oleh orang orang terlibat dalam proses pengembangan perencanaan dan pelaksanaan sebagai dokumen kalau orang yang terlibat dalam pengembangan ide tidak memungkinkan secara teknis. Diperlukan adanya tim sosialisasi kerja yang sepenuhnya faham dengan karakteristik perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran multicultural. Pada tahap ini, target utama adalah para guru faham dan berkeinginan untuk mengembangkan RPP multicultural dalam kegiatan belajar yang menjadi tanggungjawabnya.
3. Pengembangan Pendekatan  Multikultural Sebagai Ide
Pengembangan pembelajaran sebagai ide adalah langkah awal yang sangat menentukan karakteristik pembelajaran di masa mendatang : apakah yang akan di hasilkan adalah  perencanaan dan pelaksanaan multicultural, perencanaan dan pelaksanaan monokultural, ataukah perencanaan dan pelaksanaan yang diberlakukan secara umum tanpa  memperhatikan perbedaan cultural yang ada. Oleh karena pembahasan dan keputusan tentang dimensi ide suatu perencanaan dan pelaksanaan sangat penting.
Suatu prinsip yang harus diperhatikan dalam pengembangan pembelajaran multicultural adalah keadaan keseragaman dalam perencanaan dan pelaksanaan. Pada saat lampau keseragaman tersebut terlihat pada keseragaman pendekatan perencanaan dan pelaksanaan untuk setiap jenjang pendidikan yaitu perencanaan dan pelaksanaan pendidikan disiplin ilmu.
Untuk perencanaan dan pelaksanaan multicultural pendekatan pendidikan disiplin ilmu bagi perencanaan dan pelaksanaan pendidikan dasar harus ditinggalkan sama sekali. (Hasan,2006). Alas an pertama adalah tidak semua orang akan menjadi ilmuan, alasan kedua adalah terlalu dini untuk memasukan siswa pendidikan dasar dalam kotak-kotak kepentingan disiplin ilmu. Pendidikan dasar adalah pendidikan minimal untuk memberikan kualitas minimal bangsa Indonesia. Pendidikan disiplin ilmu tidak memiliki kapasitas untuk mengembangkan seluruh aspek kepribadian dan kemanusiaan seorang siswa padahal pendidikan dasar harus bertujuan pada pengembangan kualitas manusia yang berbudaya.
Perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran harus secara tegas menyikapi bahwa siswa bukan belajar untuk kepentingan mata pelajaran tetapi mata pelajaran adalah wahana mengembangkan kepribadian siswa. Oleh karena itu, pendekatan bukan pada banyaknya materi yang harus dipelajari tetapi bagaimana mempelajarinya.
Secara teknis filsafat pendidikan dasar harus berubah dari esensialisme kea rah yang lebih humanism atau bahkan rekontruksi social. Masalah-masalah yang berkembang dalam masyarakat, tuntutan masyarakat dan keunggulan masyarakat dapat dijadikan materi pelajaran. Budaya masyarakat menjadi sumber, obyek sekaligus dasar untuk mengembangkan proses belajar dan sebagai sumber belajar. Dengan perubahan filosofi ini maka sifat pembelajaran lebih terbuka terhadap berbagai perkembangan yang terjadi dimasyarakat termasuk perubahan dan pengembangan kebudayaan. Untuk itu diperlukan adanya revisi terhadap tujuan materi proses belajar dan evaluasi yang dikembangkan.
Pendekatan multicultural bukan saja mampu menjadi media pengembangan  budaya local tetapi juga merupakan media pengembang budaya nasional maupun budaya universal. Kebudayaan local menjadi dasar dalam mengembangkan kebudayaan nasional. Prinsip ini mutlak harus dikembangkan karena keragaman budaya adalah sumber yang tak ternilai bagi perkembangan kebudayaan nasional. Kebudayaan nasional itu menjadi landasan dalam memahami budaya universal. Pengembangan perencanaan dan pelaksanaan dalam dimensi ide harus jelas mengungkapkan hal ini dan kemudian harus tercermin dalam pengembangan perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran.


1).  Pengembangan Pendekatan Multikultural sebagai Gerakan
Pendekatan pengembangan multicultural sebagai gerakan menyangkut pengembangan pembelajaran berbasis budaya. Seluruh komponen sekolah harus berlandaskan budaya. Pembelajaran seperti tujuan, konten, pengalaman belajar dan evaluasi dilakukan dengan berbasiskan budaya. Rumusan yang berdasarkan pandangan behaviorisme dan menghendaki rumusan tujuan yang terukur perlu kita tinggalkan. Para pengembang harus dapat membuka diri untuk menyadari bahwa tidak semua kualitas manusia dapat di ukur berdasar criteria tertentu. Ada tujuan tujuan yang dapat di ukur dan dikuasai dalam satu atau dua pengalaman belajar, tetapi ada juga tujuan yang baru tercapai dalam waktu belajar yang panjang.
Sesuai dengan pendekatan multicultural, sumber kualitas yang di nyatakan dalam perencanaan dan pelaksanaan tidak pula terbatas pada kualitas yang ditentukan oleh disimplin ilmu semata. Kualitas manusia seperti bertata karma (santun), religious, toleransi, kreativitas, disiplin, kerja keras, kemampuan kerja sama. Berpikir kritis dan sebagainya harus dapat ditonjolkan sebagai tujuan pembelajaran. Kualitas tertentu yang di rasakan penting oleh kelompok budaya dan social tertentu harus dapat dikembangkan dan oleh karenanya pembelajaran harus memberikan kemungkinan adanya pengembangan tujuan di komunitas dan lingkungan budaya tertentu.
Demikian pula kualitas seperti kemampuan berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat. Kemampuan mencari dan mengolah informasi, kemampuan menggunakan budaya untuk pembelajaran, kemampuan komunikasi dan sebagainya harus dapat di kemukakan sebagai tujuan yang sama pentingnya dengan tujuan yang berasal dari disiplin ilmu.
Perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran Pendidikan Multikultural menghendaki adanya pengertian konten yang berbeda dari pengertian yang dianut dalam kurikulum 1975 dan 1984. Kurikulum 1984 memang mencoba untuk mengembangkan pengertian konten yang lebih luas tetapi belum mencakup keseluruhan gerak pengembangan. Pengertian konten harus diartikan lebih luas yang mencakup hal-hal substansi (teori, generalisasi, konsep, fakta, nilai, keterampilan, dan proses).
Masyarakat sebagai sumber belajar harus dapat dimanfaatkan sebagai sumber konten perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran. Oleh karena itu, nilai, moral, kebiasaan, adat/tradisi, dan cultural traits tertentu harus dapat diakomodasi sebagai konten perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran. Konten pembelajaran haruslah tidak bersifat formal semata tetapi society and cultural based dan terbuka pada masalah yang hidup dalam masyarakat. Konten pembelajaran haruslah menyebabkan siswa merasa bahwa sekolah bukanlah institusi yang lepas dengan masyarakat. Tetapi sekolah adalah suatu lemaga social dan lembaga budaya yang hidup dan berkembang dimasyarakat selanjutnya konten pembelajaran harus dapat mengembangkan kualitas kemanusiaan peserta didik..
Pengembangan komponen proses dalam pembelajran menghendaki pendekatan yang menempatkan siswa sebagai subjek dalam belajar. Dalam posisi sepeti ini maka siswa bejar dan berinteraksi dengan sumber belajar  (termasuk masyarakat. Guru bertindak sebagai orang yang memberi kemudahan bagi siswa dalam belajar. Oleh karena itu, dalam pembelajaran pendidkan multikulturak siswa sebagai subjek dalam belajar member arti bahwa metode adalah alat guru dalam membantu siswa belajar. Metode guru ditentukan oleh cara siswa belajar.
2). Pengembangan Perencanaan dan Pelaksanaan Pembelajaran Sebagai Proses
Pengembangan Perencanaan dan Pelaksanaan pembelajaran sebagai proses sangat ditentukan oleh guru berdasarkan kondisi budaya siswa. Pendidikan multicultural sebagai proses harus sesuai Pendidikan Multikultural dengan sebagai ide.
Pengetahuan, Pemahaman, dan sikap serta kemauan guru terhadap Pendidikan Multikultural akan sangat menentukan keberhasilan pelaksanaan perencanaan dan pelaksanaan sebagai proses.


Ada empat hal yang harus diperhatikan guru dalam mengembangkan Pendidikan Multikultural sebagai proses, yaitu :
1.      Posisi siswa sebagai subjek dalam belajar.
2.      Cara belajar siswa yang ditentukan oleh latar belakang budayanya.
3.      Lingkungan budaya mayoritas masyarakat dan pribadi siswa adalah entry behavior cultural siswa.
4.      Lingkungan budaya siswa sebagai sumber belajar.
Posisi keragaman yang berada pada tataran sekolah dan masyarakat tak boleh diabaikan. Oleh karena itu, keragaman social dan budaya harus menjadi factor yang dipertimbangkan dalam penentuan filsafat teori, visi, pengembangan dokumen, sosialisasi kurikulum, dan pelaksanaan perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran.
Pendidikan berlangsung sepanjang hayat dan berwujud pengalaman hidup dari berbagai lingkungan budaya mempengaruhi perkembangan individu itu selanjutnya. Pendidikan yang bernuansa budaya itu berlangsung sejak anak usia dini berlanjut sampai pada jenjang pendidikan lebih lanjut bahkan sampai akhir hayat. Hal ini berarti anak Sekolah Dasar perlu dikenalkan bahwa dirinya merupakan bagian dari boneka budaya yang ada di lingkungan terdekat dirinya: budaya keluarga, budaya masyarakat, budaya bangsa dan Negara, dan mengenal berbagai budaya dunia.
Pada umumnya sekolah dasar di daerah perkotaan telah menjadi komunitas budaya yang plural dan muncul sebagai model masyarakat yang mutikultural. Kenyataan ini seharusnya memperkuat kebersamaan antar-kelompok budaya, saling mengenal, saling tergantung dan saling menghargai.

4. Langkah-langkah Pembelajaran Berbasis Budaya Menuju Transformasi Kurikulum Multikultural di Sekolah Dasar
Tahap transformasi kurikulum berikut diadaptasi dari beberapa model yang ada, termasuk oleh Banks (1993) dan McIntosh (2000), dan Paul C. Gorski.

Tahap 1. Status Quo atau Kurikulum Dominan (curriculum of the mainstream)
Di Amerika, kurikulum dominan berpusat pada Eropah dan pria. Kurikulum sangat mengabaikan pengalaman, suara, sumbangan, dan perspektif dari individu dan kelompok non-dominan pada semua bidang. Semua materi pendidikan yang mencakup buku teks, film, dan alat belajar yang lain menyajikan informasi dalam format yang Eropah-sentris dan pria sentris murni.
Sleeter dan Grant (1999: 37) melihat tahap ini bertujuan mengasimilasi siswa yang terabaikan. Kurikulum dan pembelajaran berfokus pada "strategi mengajar yang memperbaiki kekurangan atau membangun jembatan antara siswa dan sekolah ".

Tahap 2. Hari Libur dan Pahlawan (Makanan, Festival, & Kesenangan)
Pada tahap ini ada kegiatan "merayakan" perbedaan dengan menyatukan informasi atau sumber tentang orang terkenal dan benda budaya dari berbagai kelompok ke dalam kurikulum yang dominan. Papan pengumuman dapat berisi gambar dari tokoh-tokoh kelompok yang bukan dominan dan guru dapat merencanakan perayaan khusus untuk Hari Kartini, Hari Anak, Hari Pahlawan atau HUT Kemerdekaan. Pagelaran tentang “budaya yang lain” berfokus pada kostum, makanan, musik, dan item budaya yang dapat diraba lainnya (other tangible cultural items).
Kekuatan dari tahap ini adalah bahwa pengajar mencoba mendiversifikasi kurikulum dengan memberi materi dan pengetahuan di luar budaya dominan dan bahwa pendekatan Hari Libur dan Pahlawan benar-benar mudah diimplimentasikan dengan hanya memerlukan sedikit pengetahuan baru.

Tahap 3: Integrasi
Pada tahap Integrasi, guru melampaui kepahlawanan dan hari libur dengan menambahkan materi dan pengetahuan substansial tentang kelompok bukan dominan ke dalam kurikulum. Pengajar dapat menambahkan pada koleksi buku yang ditulis oleh penulis dari kelompok lain. Ia dapat menambahkan suatu unit yang mencakup, misalnya, peranan wanita pada Perang Dunia I. Guru musik dapat menambah dari daerah Papua atau tarian Cakalele dari Maluku Utara. Pada level sekolah, sejarah kota tertentu dapat ditambahkan pada keseluruhan kurikulum.

Tahap 4. Belajar dan Mengajar Antarbudaya (Kamus Budaya)
Guru mempelajari tradisi dan perilaku budaya asal siswanya dalam upaya untuk lebih memahami bagaimana guru itu harus memperlakukan siswa itu. Di Barat, khususnya Amerika Serikat, guru memiliki buku pegangan yang mendeskripsikan bagaimana mereka seharusnya berhubungan dengan siswa Afrika-Amerika, siswa Latin, siswa Asia Amerika, siswa Amerika Asli, dan kelompok lain berdasarkan interpretasi terhadap tradisi dan gaya komunikasi dari kelompok tertentu itu. Di Indonesia, khususnya di Jawa guru perlu lebih mengenal budaya Jawa secara utuh budaya Jawa walaupun dia berasal dari luar Jawa.

Tahap 5: Reformasi Struktural
Materi, perspektif, dan suara baru diserukan dengan kerangka kerja pengetahuan yang mutakhir untuk memberi tahap pemahaman baru dari kurikulum yang lebih lengkap dan akurat. Guru mendedikasikan dirinya untuk memperluas dasar pengetahuannya secara berkelanjutan melalui eksplorasi berbagai perspektif, dan berbagi pengetahuan dengan siswanya. Siswa belajar memandang peristiwa, konsep, dan fakta melalui berbagai kacamata. Misalnya, untuk "Sejarah Amerika" mencakup sejarah orang Afrika-Amerika, Sejarah Wanita, Sejarah orang Asia Amerika, Sejarah orang Amerika Latin, dan semua bidang pengetahuan yang berbeda.

Tahap 6 Hubungan Manusia (Mengapa-kita-tidak-semuanya-ikut-serta)
Anggota masyarakat sekolah didorong untuk memperingati perbedaan dengan membuat hubungan lintas identitas kelompok yang berbeda. Guru memperlihatkan antusiasme untuk mempelajari tentang budaya “yang lain” melalui pendekatan Belajar dan Mengajar Antarbudaya (Intercultural Teaching and Learning approach). Guru menggambarkan pengalaman pribadi siswa sehingga siswa dapat belajar dari masing-masing yang lain. Melalui hubungan antar pribadi, itu siswa dapat mengenal budaya siswa yang lain. Perbedaan pengalaman dan budaya siswa yang berbeda-beda itu dilihat sebagai aset yang memperkaya pengalaman kelas.

Tahap 7. Pendidikan Multikultural Selektif (Kita melakukan Pendidikan Multikultural secara temporer)
Guru dan staf memulai program temporer dan satu waktu tertentu dengan mengenal adanya keketidak samaan dalam berbagai aspek pendidikan. Mereka dipanggil bersama-sama dalam suatu pertemuan untuk mendiskusikan konflik rasial atau mendatangkan seorang konsultan untuk membantu guru merancang perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran yang ditujukan untuk berbagai kelompok yang berbeda.

Tahap 8. Pendidikan Multikultural Transformatif (Pendidikan persamaan dan Keadilan Sosial)
Semua praktek pendidikan dimulai dengan penentuan yang sama pada semua aspek sekolah dan persekolahan dan menjamin bahwa semua siswa memiliki kesempatan yang sama untuk menggapai potensi sepenuhnya sebagai pelajar. Semua praktek pendidikan yang menguntungkan suatu kelompok yang merugikan kelompok lain diubah untuk menjamin persamaan.

5. Strategi Pembelajaran dan Metode untuk Humanisasi, Pendidikan Multikultural
Pada ahli teori kritis seperti Giroux, Freire, and Anyon yang menekankan kebutuhan akan pedagogi humanisasi dengan "menciptakan lingkungan yang memungkinkan adanya tindakan dan refleksi " (Bartolome,1994: 177). Bartolome (1994: 177) mengusulkan dua model pembelajaran yang memungkinkan “siswa yang tersubordinasi berubah dari posisi obyek menjadi subyek”:
a.    Pembelajaran responsif secara kultural. "kesulitan akademis siswa kelompoksubordinasi disebabkan tidak adanya pertalian budaya atau diskontinuitasantara belajar, pemakaian bahasa, dan praktek perilaku yang ditemukan di rumah dan sekolah". Hal ini berarti budaya yang ada di sekolahmerupakan kepanjangan tangan dari budaya yang ada di rumah. Untuk itupengajar harus "belajar mendengar, belajar dari, dan menjadi mentorsiswanya"
b.    Strategic Teaching yang menunjuk pada model pembelajaran yang secaraeksplisit mengajari siswa suatu strategi yang memungkinkan mereka secara sadar memonitor belajarnya sendir .melalui pengembangan monitoringkognitif reflektif dan ketrampilan metakognitif
1). Cooperative Learning
Cooperative Learning adalah metode esensial untuk mendesain pendidikan multikultural. Ini bukan kerja kelompok dimana pengajar hanya menyusun siswa dalam suatu kelompok, memberi suatu topik yang diarahkan untuk "diskusi."
Johnson dan Johnson (1994: 61) mendefinisikan cooperative learning sebagai "penggunaan pembelajaran dari kelompok kecil sehingga siswa bekerja bersama untuk memaksimalkan belajarnya sendiri maupun masing-masing yang lain". Mereka menunjukkan bahwa cooperative learning lebih sekedar diskusi, membantu, dan berbagi.
Lima elemen esensial cooperative learning (Johnson dan Johnson, 1994: 64-71 adalah:
1.      Kemandirian positif (Positive interdependence). Anggota kelompok memenuhi peranan (pembaca, mengecek, pendorong) dan harus mencapai konsensus.
2.      Interaksi tatap muka yang promotif (Face-to-face promotive interaction). Siswa mendiskusikan, mengajar, dan menjelaskan pada yang lain dalam cara-carapromotif yang "membantu, mendorong dan mendukung masing-masingorang lain untuk belajar"
3.      Tanggung jawab individu (Individual accountability). Siswa dinilai secaraindividu. Ini menjamin bahwa masing-masing orang melakukan "berbagi kerjasecara adil " .
4.      Ketrampilan sosial (Social skills). Siswa harus juga mempelajari ketrampilansosial yang diperlukan untuk bekerja dengan orang lain: "ketrampilankepemimpinan, pembuatan keputusan, pembangunan kepercayaan,komunikasidan manajemen konflik.
5.      Keefektifan proses kelompok (Groups process their effectiveness). Kelompokmendiskusikan kemajuannya dan memberikan umpan balik seperti terhadapapa masing-masing orang berkontribusi dan di mana masing-masing orangdapat memperbaiki.
Sleeter and Grant (1999) menyoroti model-model cooperative learning seperti group investigation model, jigsaw model, dan model tim permainan.


















BAB III
PENUTUP

A.  Kesimpulan
Lingkungan sekolah secara keseluruhan merupakan suatu sistem yang terdiri dari sejumlah variabel dan faktor utama yang dapat diidentifikasi sebagai budaya sekolah, kebijakan dan politik sekolah, dan kurikulum formal dan bidang studi.
Variabel dan faktor sekolah sebagai sistem sosial yaitu kebijakan dan politik sekolah, budaya sekolah dan kurikulum yang tersembunyi, gaya belajar dan sekolah, bahasa dan dialek sekolah, partisipasi dan input masyarakat, program penyuluhan/konseling, prosedur asesmen dan pengujian, materi pembelajaran, gaya dan strategi mengajar dan sikap, persepsi, kepercayaan dan perilaku stap sekolah.
Multikutural adalah suatu realita masyarakat dan bangsa Indonesia. Realita tersebut memang berposisi sebagai objek dalam proses pengembangan perencanaan dan  pelaksanaan  pendidikan,  termasuk  di  dalamnya  Pendidikan  Multikultural. Tetapi posisi sebagai objek yang terabaikan dalam pengembangan perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran ini berubah menjadi subjek yang menentukan dalam implementasinya.
Oleh karena itu, multikultural tersebut harus menjadi faktor yang dipertimbangkan dalam penentuan filsafat,  teori, visi, pengembangan pembelajaran pendidikan, termasuk di dalamnya Pendidikan Multikultural.

B.  Saran
 Pendidikan yang bernuansa budaya itu  bukan hanya diterapkan di sekolah tinggi tetapi  juga harus diterapkan di sekolah dasar   dengan  menggunakan berbagai metode dalam mengajar agar  peserta didik bisa mengenal budaya yang ada di indonesia dengan baik.


DAFTAR PUSTAKA

Muinarifah.blogspot.com/2014/08/sekolah-adalah-sistem-sosial-html



Tidak ada komentar:

Posting Komentar