BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Pendidikan
berlangsung sepanjang hayat dan berwujud pengalaman hidup dari berbagai
lingkungan budaya. Pendidikan dan pembudayaan yang diperoleh di sekolah di
samping di rumah, di masyarakat sangat mempengaruhi perkembangan individu
selanjutnya. Pendidikan ini tidak bebas nilai, tetapi sarat dengan nilai,
termasuk nilai budaya.
Pendidikan yang bernuansa budaya itu
berlangsung sejak anak usia dini berlanjut
sampai pada jenjang pendidikan lebih lanjut
bahkan sampai akhir hayat. Hal ini berarti anak
Sekolah Dasar perlu dikenalkan bahwa dirinya merupakan bagian dari neka budaya yang ada di lingkungan terdekat dirinya
yaitu budaya sekolah. Untuk mengenalkan
anak didik kita dengan budaya tersebut maka sekolah Dasar perlu dimodelkan
sebagai lembaga budaya di mana siswa bisa dapat beradaptasi secara alamiah dan berbudaya.
Pada
makalah ini akan mempelajari Peranan Sekolah
Dasar
Sebagai
Lembaga Pengembangan Pendidikan Multikultural.
B. Rumusan masalah
1.
Bagaimana peranan sekolah dasar sebagai
sistem sosial?
2.
Bagaimana peranan sekolah dasar
sebagai lembaga pengembangan budaya?
C. Tujuan penulisan
1.
Untuk mengetahui peranan sekolah dasar
sebagai sistem sosial.
2.
Untuk mengetahui peranan sekolah dasar
sebagai lembaga pengembangan budaya.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Peranan Sekolah Dasar Sebegai
Sistem Sosial
Lingkungan sekolah
secara keseluruhan merupakan suatu sistem
yang terdiri dari sejumlah
variabel dan faktor utama yang dapat diidentifikasi sebagai budaya
sekolah, kebijakan dan politik
sekolah, dan kurikulum
formal dan bidang studi.
Variabel dan faktor
sekolah sebagai sistem sosial itu antara lain :
1. Kebijakan
dan politik sekolah
Dengan
era KTSP kebijakan dan politik sekolah sangat menentukan
ke arah mana anak didik akan dikembangkan potensinya.
2. Budaya
sekolah dan kurikulum yang tersembunyi (hidden
curriculum)
Budaya yang berlangsung di sekolah dan kurikulum
yang tersembunyi (hidden curriculum) sangat
menentukan kepribadian yang dikembangkan
pada lingkungan sekolah. Keunikan
budaya sekolah dapat
dibaca
sebagai keunggulan komparatif.
3. Gaya
belajar dan sekolah
Gaya belajar
dan sekolah ikut mewarnai pembelajaran
yang berlangsung di sekolah itu. Gaya belajar siswa hendaknya diperhitungkan oleh sekolah dalam
pembuatan kebijakan dan dalam menciptakan gaya (style) sekolah
itu dalam menciptkan kondisi belajar yang nyaman dan akrab dengan kondisi siswa. Tentu tidak sama gaya sekolah
perkotaan dengan segala fasilitasnya dengan gaya sekolah pedesaan.
4. Bahasa dan dialek sekolah
Bahasa
dan dialek sekolah di sini berkaitan dengan bahasa dan dialek yang digunakan di sekolah di mana sekolah
itu berada. Sekolah yang ada di Madura tentunya, disadari
atau tidak, akan mempengaruhi budaya
anak didiknya karena dalam keseharian guru dan siswa itu
akan berkomunikasi lewat bahasa
Madura atau minimal
logat dialek Madura yang kental. Sekalipun
menggunakan bahasa Indonesia, kita akan dengan mudah mengenali
budaya anak didik dengan mengenal
bahasa dan dialek yang digunakan siswanya.
5. Partisipasi
dan input masyarakat
Partisipasi dan
input sekolah ikut menentukan
arah kebijakan dan
iklim sekolah yang akan dikembangkan. Peranan Komite Sekolah
sangat bervariasi di
tiap-tiap sekolah dasar. Bila kesadaran
masyarakat akan pendidikan tinggi dan
komite sekolah dipimpin oleh orang yang memiliki wawasan pendidikan yang baik maka
sekolah itu akan banyak mendapat
bantuan dari masyarakat, baik dana maupun
pemantauan ke arah
pengembangan sekolah
ke depan.
6. Program
penyuluhan/konseling
Program
bimbingan
dan penyuluhan/konseling akan
berperanan dalam membantu
mengatasi kesulitan
belajar pada
anak,
baik
itu
anak
yang
mengalami kelambatan
belajar maupun anak yang memiliki
bakat khusus.
7. Prosedur asesmen dan pengujian
Memang saat ini, kita masih belum boleh melakukan prosedur asesmen dan pengujian sendiri untuk
mata pelajaran yang diujikan
dalam UAN (Ujian Akhir Nasional), namun kita bisa mengembangkan pada mata pelajaran yang bukan termasuk dalam UAN. Asesmen
dan pengujian tidak identik dengan duduk di kelas dan mengerjakan soal dalam
bentuk paper-pencil test. Asesmen
bersifat holistik yang menggambarkan kemampuan aktual keseharian anak.
8. Materi
pembelajaran
Materi
pelajaran pada semua bidang studi atau bidang yang paling cocok dapat memasukkan
materi budaya itu dalam pembelajaran. Perlu
ada bidang studi Pendidikan Multikultural tersendiri di sekolah dasar untuk lebih mengenalkan budaya secara lebih terencana,
terorganisir dan matang, bukan sekedar
dititipkan pada materi yang ada pada bidang studi yang lain.
9. gaya
dan strategi mengajar
Gaya dan strategi
mengajar guru akan turut menentukan
pendidikan anak didiknya. Guru
yang sedang mengajar anak didiknya
tentunya sarat dengan
nilai budaya.
Dia memiliki ideologi
dan nilai-nilai budaya yang diperoleh sepanjang hidupnya. Hal itu tentunya sangat mewarnai gaya dan strategi mengajar
yang dia gunakan di sekolah.
10. Sikap, persepsi, kepercayaan dan perilaku staf
sekolah
Sikap, persepsi,
kepercayaan dan perilaku staf
sekolah juga mempengaruhi kinerja sekolah. Seluruh staf
yang mendukung pembelajaran akan sangat membantu
menciptakan kondisi pembelajaran yang diinginkan dan begitu juga sebaliknya.
B. Peranan Sekolah Dasar Sebagai
Lembaga Pengembangan Budaya
Multikutural
adalah suatu realita masyarakat dan bangsa Indonesia. Realita
tersebut memang berposisi sebagai objek dalam proses pengembangan perencanaan dan pelaksanaan pendidikan,
termasuk di dalamnya Pendidikan
Multikultural. Tetapi posisi sebagai objek yang terabaikan dalam pengembangan perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran ini berubah menjadi subjek yang menentukan dalam implementasinya. Sekalipun sebenarnya multikultural menjadi penentu dalam implementasi
tetapi tetap tidak dijadikan landasan
ketika guru mengembangkan pembelajaran. Padahal multikultural itu berpengaruh langsung terhadap kemampuan guru dalam melaksanakan pembelajaran, kemampuan sekolah dalam memberikan pengalaman belajar, dan kemampuan siswa dalam proses belajar
serta mengolah informasi
menjadi sesuatu yang dapat diterjemahkan sebagai hasil belajar.
Oleh karena itu, multikultural tersebut harus menjadi faktor yang dipertimbangkan dalam penentuan filsafat, teori,
visi, pengembangan pembelajaran pendidikan, termasuk di dalamnya Pendidikan Multikultural.
1. Multikuitural Sebagai Landasan
Pembelajaran
Kebudayaan
adalah
salah
satu landasan pengembangan
dalam kurikulum (Taba, 1962) karena menurut Ki Hajar Dewantara akar pendidikan suatu
bangsa adalah kebudayaan. Wloodkowski
dan Ginsberg (1995) menyatakan
bahwa kebudayaan adalah dasar dari motivasi intrinsik dan mengembangkan
model belajar yang komprehensif dalam arti
pengajaran
yang
responsif terhadap kultural. Model ini merupakan pedagogi
lintas disiplin dan lintas budaya.
Pendidikan Multikultural digunakan
oleh pendidik untuk menggambarkan
kegiatan dengan siswa
yang berbeda karena
ras, gender, kelas,
atau ketidakmampuan. Tujuan kemasyarakatan pendekatan ini adalah untuk
mengurangi prasangka dan diskriminasi
terhadap kelompok yang tertindas
(oppressed groups), bekerja atas dasar kesempatan yang sama dan adanya keadilan sosial pada semua kelompok,
serta distribusi kekuasaan yang adil
di antara anggota kelompok budaya
yang berbeda. Pendekatan Pendidikan Multikultural mencoba mereformasi
proses persekolahan secara keseluruhan tanpa memandang apakah sekolah
itu sekolah pinggiran yang terbelakang atau sekolah kota yang maju.
Berbagai praktek dan proses di sekolah
direkonstruksi kembali sehingga menjadi
model sekolah yang berdasarkan
persamaan dan pluralisme.
Berbagai praktek dan proses di sekolah direkonstruksi kembali sehingga menjadi model
sekolah yang berdasarkan persamaan dan pluralisme. Misalnya, pembelajaran diorganisir seputar konsep disiplin
namun materi rincian dari konsep
itu disajikan dari pengalaman dan
perspektif dari berbagai kelompok
berbeda. Pembelajaran tidak memakai lagi pengelompokan berdasarkan kekuatan siswa dan tidak ada lagi praktek yang
membeda-bedakan
siswa. Siswa didorong untuk menganalisa
isu lewat sudut pandang yang berbeda.
Andersen
dan Cusher (1994:320) mengatakan bahwa multikultural
adalah
pendidikan mengenai keragaman kebudayaan.
Posisi kebudayaan menjadi sesuatu yang dipelajari; jadi
berstatus
sebagai
obyek studi.
Dengan
perkataan
lain,
keragaman kebudayaan menjadi materi
pelajaran
yang
harus
diperhatikan
para
pengembang pembelajaran. Ini disebut belajar tentang budaya.
pendekatan multikultural harus membantu para
pengembang dalam mengembangkan prinsip- prinsip perencanaan dan
pelaksanaan, dan dapat memaksimalkan potensi siswa dan lingkungan budayanya
sehingga siswa dapat belajar dengan lebih baik. Artinya,
pengertian pendekatan multikultural harus dapat mengakomodasi perbedaan
kultural peserta didik, memanfaatkan
kebudayaan itu bukan saja sebagai sumber konten,
melainkan juga sebagai titik
berangkat
untuk pengembangan kebudayaan itu
sendiri, pemahaman terhadap
kebudayaan orang lain,
toleransi, membangkitkan semangat kebangsaan
siswa yang berdasarkan bhinneka
tunggal ika, mengembangkan
perilaku yang etis,
dan yang juga tak kalah pentingnya adalah dapat memanfaatkan kebudayaan pribadi siswa sebagai bagian dari entry-behavior
siswa sehingga dapat menciptakan
"kesempatan yang sama bagi
siswa untuk berprestasi" (Boyd, 1989: 49-50). Artinya, pengertian pendekatan multikultural dalam pembelajaran
haruslah menggabungkan pengertian Pendidikan Multikultural sebagai landasan pengembangan, di samping sebagai ruang lingkup
materi yang harus dipelajari. Hal ini
disebut belajar dengan budaya.
2. Perencanaan Pembelajaran Pendidikan
Multikultural
Proses pengembangan perencanaan dan
pelaksanaan pembelajaran pendidikan multicultural haruslah meliputi tiga
dimensi yaitu sebagai ide, sebagai
langkah kerja opersional (gerakan) dan sebagai proses. Ketiga dimensi pendidikan
multikutural ini berkaitan satu dengan lainnya. Pembelajaran pendidikan
multicultural sebagai proses
dilaksanakan dengan berbagai langkah kerja operasional sebagai gerakan. Langkah
kerja operasional tersebut merupakan operasionalisasi perencanaan dan
pelaksanaan Pendidikan Multkultural sebagai ide.
Pengembangan ide berkenaan dengan penentuan filosofi. Model pembelajaran
yang digunakan pendekatan dan teori belajar yang digunakan. Pendekatan model
evaluasi hasil belajar dan pendidikan multicultural. Pengembangan langkah kerja
operasional didasarkan pada ide yang sudah ditetapkan sebelumnya. Secara teknis
pengembangan perencanaan dan pelaksanaan
sebagai langkah kerja operasional berkenaan dengan keputusan tentang
informasi dan jenis dokumen yang akan dihasilkan. Bentuk format silabus, Rencana
Pelaksanaan Pembelajaran harus dikembangkan. Pengembangan pembelajaran sebagai
ide dan langkah kerja operasional
diperlukan sosialisasi agar terjadi kesinambungan pemikiran-pemikiran
para pengambil keputusan pelaksanaan dengan para pengembang teknis di lapangan.
Uji coba kurikulum 2004 berdasarkan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) yang
sebenarnya bagus itu telah mengalami reduksi pengurangan. Penafsiran yang
beragam dan penyimpangan dalam pelaksanaan sehingga sampai di bawah
“diplesetkan” (maklumlah sejarang disebut jaman plesetan!!) menjadi Kurikulum
Bingung Kabeli (KBK).
Untuk konteks otonomi, pengembangan ide dan pelaksanaan pembelajaran
dari pusat lebih banyak berisikan prinsip dan petunjuk teknis sedangkan
kewenangan dalam pengembangan yang lebih operasional dan rinci diberikan kepada
daerah. Pada konteks sentralisasi, pengembangan perencanaan dan pelaksanaan
pembelajaran sebagai ide dan pelaksanaan pembelajaran memang tetap ada pada
pusat tetapi harus tetap memberikan ruang yang besar bagi daerah untuk
memasukan karakteristik budayanya.
Dengan pemberlakuan kurikulum baru. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
(KTSP), prinsip dan petunjuk teknis yang mengandung rambu-rambu pembelajaran
sebagai ide dalam bentuk silabus dikembangkan pada tingkat nasional sedangkan
pengembangan yang lebih operasional dan rinci diberikan pada tingkat satuan
pendidikan (sekolah) dalam bentuk Rencana Pelaksaanan Pembelajaran (RPP).
Proses sosialisasi ide yang telah ditetapkan ditingkat pusat perlu dilakukan.
Dengan pemberlakuan ktsp ini. Pendekatan multikultural tingkat rincian dapat
dilakukan dengan memperhitungkan keragaman kebudayaan di wilayah tersebut yang
menjadi lingkungan eksternal sekolah sekolah yang ada. Namun pendekatan
muktikultural melalui KTSP ini dapat dilakukan dengan baik jika daerah telah
memiliki tenaga pengembang yang cukup dan sudah berpengalaman. Upaya kea rah
pemahaman yang benar tentang KTSP dan pendekatan multicultural tetap perlu
terus dikembangkan sehingga tidak timbul kesalahan seperti piramida terbaik.
Artinya di tingkat atas, pemahaman idenya lengkap dan bagus tetapi begitu turun
semakin kebawah menjadi semakin kurang dan semakin menyimpang sehingga pada
gilirannya hanya tinggal ujungnya saja.
Pengembangan perencanaan dan pelaksanaan
sebagai proses terjadi pada unit pendidikan dalam hal ini adalah sekolah.
Pengembangan ini haruslah didahului oleh sosialisasi agar para pengembang (guru
) dapat mengembangkan perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran, proses belajar
dikelas dan evaluasi sesuai dengan prinsip pendekatan multicultural.
Sosialisasi yang dilakukan haruslah dilakukan oleh orang orang terlibat dalam
proses pengembangan perencanaan dan pelaksanaan sebagai dokumen kalau orang
yang terlibat dalam pengembangan ide tidak memungkinkan secara teknis.
Diperlukan adanya tim sosialisasi kerja yang sepenuhnya faham dengan
karakteristik perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran multicultural. Pada
tahap ini, target utama adalah para guru faham dan berkeinginan untuk
mengembangkan RPP multicultural dalam kegiatan belajar yang menjadi
tanggungjawabnya.
3. Pengembangan Pendekatan Multikultural Sebagai Ide
Pengembangan pembelajaran sebagai ide adalah langkah awal yang sangat
menentukan karakteristik pembelajaran di masa mendatang : apakah yang akan di hasilkan
adalah perencanaan dan pelaksanaan
multicultural, perencanaan dan pelaksanaan monokultural, ataukah perencanaan
dan pelaksanaan yang diberlakukan secara umum tanpa memperhatikan perbedaan cultural yang ada.
Oleh karena pembahasan dan keputusan tentang dimensi ide suatu perencanaan dan
pelaksanaan sangat penting.
Suatu prinsip yang harus diperhatikan dalam pengembangan pembelajaran
multicultural adalah keadaan keseragaman dalam perencanaan dan pelaksanaan.
Pada saat lampau keseragaman tersebut terlihat pada keseragaman pendekatan
perencanaan dan pelaksanaan untuk setiap jenjang pendidikan yaitu perencanaan
dan pelaksanaan pendidikan disiplin ilmu.
Untuk perencanaan dan pelaksanaan multicultural pendekatan pendidikan
disiplin ilmu bagi perencanaan dan pelaksanaan pendidikan dasar harus
ditinggalkan sama sekali. (Hasan,2006). Alas an pertama adalah tidak semua
orang akan menjadi ilmuan, alasan kedua adalah terlalu dini untuk memasukan
siswa pendidikan dasar dalam kotak-kotak kepentingan disiplin ilmu. Pendidikan
dasar adalah pendidikan minimal untuk memberikan kualitas minimal bangsa
Indonesia. Pendidikan disiplin ilmu tidak memiliki kapasitas untuk
mengembangkan seluruh aspek kepribadian dan kemanusiaan seorang siswa padahal
pendidikan dasar harus bertujuan pada pengembangan kualitas manusia yang
berbudaya.
Perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran harus secara tegas menyikapi
bahwa siswa bukan belajar untuk kepentingan mata pelajaran tetapi mata
pelajaran adalah wahana mengembangkan kepribadian siswa. Oleh karena itu,
pendekatan bukan pada banyaknya materi yang harus dipelajari tetapi bagaimana
mempelajarinya.
Secara teknis filsafat pendidikan dasar harus berubah dari esensialisme
kea rah yang lebih humanism atau bahkan rekontruksi social. Masalah-masalah
yang berkembang dalam masyarakat, tuntutan masyarakat dan keunggulan masyarakat
dapat dijadikan materi pelajaran. Budaya masyarakat menjadi sumber, obyek
sekaligus dasar untuk mengembangkan proses belajar dan sebagai sumber belajar.
Dengan perubahan filosofi ini maka sifat pembelajaran lebih terbuka terhadap
berbagai perkembangan yang terjadi dimasyarakat termasuk perubahan dan
pengembangan kebudayaan. Untuk itu diperlukan adanya revisi terhadap tujuan
materi proses belajar dan evaluasi yang dikembangkan.
Pendekatan
multicultural bukan saja mampu menjadi media pengembangan budaya local tetapi juga merupakan media
pengembang budaya nasional maupun budaya universal. Kebudayaan local menjadi
dasar dalam mengembangkan kebudayaan nasional. Prinsip ini mutlak harus
dikembangkan karena keragaman budaya adalah sumber yang tak ternilai bagi
perkembangan kebudayaan nasional. Kebudayaan nasional itu menjadi landasan
dalam memahami budaya universal. Pengembangan perencanaan dan pelaksanaan dalam
dimensi ide harus jelas mengungkapkan hal ini dan kemudian harus tercermin
dalam pengembangan perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran.
1). Pengembangan Pendekatan Multikultural sebagai
Gerakan
Pendekatan pengembangan multicultural sebagai gerakan menyangkut
pengembangan pembelajaran berbasis budaya. Seluruh komponen sekolah harus
berlandaskan budaya. Pembelajaran seperti tujuan, konten, pengalaman belajar
dan evaluasi dilakukan dengan berbasiskan budaya. Rumusan yang berdasarkan
pandangan behaviorisme dan menghendaki rumusan tujuan yang terukur perlu kita
tinggalkan. Para pengembang harus dapat membuka diri untuk menyadari bahwa
tidak semua kualitas manusia dapat di ukur berdasar criteria tertentu. Ada
tujuan tujuan yang dapat di ukur dan dikuasai dalam satu atau dua pengalaman
belajar, tetapi ada juga tujuan yang baru tercapai dalam waktu belajar yang
panjang.
Sesuai dengan pendekatan multicultural, sumber kualitas yang di nyatakan
dalam perencanaan dan pelaksanaan tidak pula terbatas pada kualitas yang
ditentukan oleh disimplin ilmu semata. Kualitas manusia seperti bertata karma
(santun), religious, toleransi, kreativitas, disiplin, kerja keras, kemampuan
kerja sama. Berpikir kritis dan sebagainya harus dapat ditonjolkan sebagai
tujuan pembelajaran. Kualitas tertentu yang di rasakan penting oleh kelompok
budaya dan social tertentu harus dapat dikembangkan dan oleh karenanya
pembelajaran harus memberikan kemungkinan adanya pengembangan tujuan di
komunitas dan lingkungan budaya tertentu.
Demikian pula kualitas seperti kemampuan berpartisipasi dalam kehidupan
masyarakat. Kemampuan mencari dan mengolah informasi, kemampuan menggunakan
budaya untuk pembelajaran, kemampuan komunikasi dan sebagainya harus dapat di
kemukakan sebagai tujuan yang sama pentingnya dengan tujuan yang berasal dari
disiplin ilmu.
Perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran Pendidikan Multikultural
menghendaki adanya pengertian konten yang berbeda dari pengertian yang dianut
dalam kurikulum 1975 dan 1984. Kurikulum 1984 memang mencoba untuk
mengembangkan pengertian konten yang lebih luas tetapi belum mencakup
keseluruhan gerak pengembangan. Pengertian konten harus diartikan lebih luas
yang mencakup hal-hal substansi (teori, generalisasi, konsep, fakta, nilai,
keterampilan, dan proses).
Masyarakat sebagai sumber belajar harus dapat dimanfaatkan sebagai
sumber konten perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran. Oleh karena itu, nilai,
moral, kebiasaan, adat/tradisi, dan cultural traits tertentu harus dapat
diakomodasi sebagai konten perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran. Konten
pembelajaran haruslah tidak bersifat formal semata tetapi society and cultural
based dan terbuka pada masalah yang hidup dalam masyarakat. Konten pembelajaran
haruslah menyebabkan siswa merasa bahwa sekolah bukanlah institusi yang lepas
dengan masyarakat. Tetapi sekolah adalah suatu lemaga social dan lembaga budaya
yang hidup dan berkembang dimasyarakat selanjutnya konten pembelajaran harus
dapat mengembangkan kualitas kemanusiaan peserta didik..
Pengembangan komponen proses dalam
pembelajran menghendaki pendekatan yang menempatkan siswa sebagai subjek dalam
belajar. Dalam posisi sepeti ini maka siswa bejar dan berinteraksi dengan
sumber belajar (termasuk masyarakat.
Guru bertindak sebagai orang yang memberi kemudahan bagi siswa dalam belajar. Oleh
karena itu, dalam pembelajaran pendidkan multikulturak siswa sebagai subjek
dalam belajar member arti bahwa metode adalah alat guru dalam membantu siswa
belajar. Metode guru ditentukan oleh cara siswa belajar.
2). Pengembangan
Perencanaan dan Pelaksanaan Pembelajaran Sebagai Proses
Pengembangan Perencanaan dan Pelaksanaan pembelajaran sebagai proses
sangat ditentukan oleh guru berdasarkan kondisi budaya siswa. Pendidikan
multicultural sebagai proses harus sesuai Pendidikan Multikultural dengan
sebagai ide.
Pengetahuan, Pemahaman, dan sikap serta kemauan guru terhadap Pendidikan
Multikultural akan sangat menentukan keberhasilan pelaksanaan perencanaan dan
pelaksanaan sebagai proses.
Ada empat hal yang harus diperhatikan guru dalam mengembangkan
Pendidikan Multikultural sebagai proses, yaitu :
1. Posisi siswa sebagai subjek dalam belajar.
2. Cara belajar siswa yang ditentukan oleh latar
belakang budayanya.
3. Lingkungan budaya mayoritas masyarakat dan
pribadi siswa adalah entry behavior cultural siswa.
4. Lingkungan budaya siswa sebagai sumber
belajar.
Posisi keragaman yang berada pada tataran sekolah dan masyarakat tak
boleh diabaikan. Oleh karena itu, keragaman social dan budaya harus menjadi factor
yang dipertimbangkan dalam penentuan filsafat teori, visi, pengembangan
dokumen, sosialisasi kurikulum, dan pelaksanaan perencanaan dan pelaksanaan
pembelajaran.
Pendidikan berlangsung sepanjang hayat dan berwujud pengalaman hidup
dari berbagai lingkungan budaya mempengaruhi perkembangan individu itu
selanjutnya. Pendidikan yang bernuansa budaya itu berlangsung sejak anak usia
dini berlanjut sampai pada jenjang pendidikan lebih lanjut bahkan sampai akhir
hayat. Hal ini berarti anak Sekolah Dasar perlu dikenalkan bahwa dirinya
merupakan bagian dari boneka budaya yang ada di lingkungan terdekat dirinya:
budaya keluarga, budaya masyarakat, budaya bangsa dan Negara, dan mengenal
berbagai budaya dunia.
Pada umumnya sekolah dasar di daerah perkotaan telah menjadi komunitas
budaya yang plural dan muncul sebagai model masyarakat yang mutikultural.
Kenyataan ini seharusnya memperkuat kebersamaan antar-kelompok budaya, saling
mengenal, saling tergantung dan saling menghargai.
4. Langkah-langkah
Pembelajaran Berbasis Budaya Menuju Transformasi Kurikulum Multikultural di
Sekolah Dasar
Tahap transformasi kurikulum berikut
diadaptasi dari beberapa model yang ada, termasuk oleh Banks (1993) dan
McIntosh (2000), dan Paul C. Gorski.
Tahap 1. Status Quo
atau Kurikulum Dominan (curriculum of the mainstream)
Di Amerika, kurikulum dominan berpusat pada
Eropah dan pria. Kurikulum sangat mengabaikan pengalaman, suara, sumbangan, dan
perspektif dari individu dan kelompok non-dominan pada semua bidang. Semua
materi pendidikan yang mencakup buku teks, film, dan alat belajar yang lain
menyajikan informasi dalam format yang Eropah-sentris dan pria sentris murni.
Sleeter dan Grant (1999: 37) melihat tahap
ini bertujuan mengasimilasi siswa yang terabaikan. Kurikulum dan pembelajaran berfokus
pada "strategi mengajar yang memperbaiki kekurangan atau membangun
jembatan antara siswa dan sekolah ".
Tahap 2. Hari Libur
dan Pahlawan (Makanan, Festival, & Kesenangan)
Pada tahap ini ada kegiatan
"merayakan" perbedaan dengan menyatukan informasi atau sumber tentang
orang terkenal dan benda budaya dari berbagai kelompok ke dalam kurikulum yang
dominan. Papan pengumuman dapat berisi gambar dari tokoh-tokoh kelompok yang
bukan dominan dan guru dapat merencanakan perayaan khusus untuk Hari Kartini,
Hari Anak, Hari Pahlawan atau HUT Kemerdekaan. Pagelaran tentang “budaya yang
lain” berfokus pada kostum, makanan, musik, dan item budaya yang dapat diraba
lainnya (other tangible cultural items).
Kekuatan dari tahap ini adalah bahwa pengajar
mencoba mendiversifikasi kurikulum dengan memberi materi dan pengetahuan di
luar budaya dominan dan bahwa pendekatan Hari Libur dan Pahlawan benar-benar
mudah diimplimentasikan dengan hanya memerlukan sedikit pengetahuan baru.
Tahap 3: Integrasi
Pada tahap Integrasi, guru melampaui
kepahlawanan dan hari libur dengan menambahkan materi dan pengetahuan
substansial tentang kelompok bukan dominan ke dalam kurikulum. Pengajar dapat
menambahkan pada koleksi buku yang ditulis oleh penulis dari kelompok lain. Ia
dapat menambahkan suatu unit yang mencakup, misalnya, peranan wanita pada
Perang Dunia I. Guru musik dapat menambah dari daerah Papua atau tarian
Cakalele dari Maluku Utara. Pada level sekolah, sejarah kota tertentu dapat
ditambahkan pada keseluruhan kurikulum.
Tahap 4. Belajar
dan Mengajar Antarbudaya (Kamus Budaya)
Guru mempelajari tradisi dan perilaku budaya
asal siswanya dalam upaya untuk lebih memahami bagaimana guru itu harus
memperlakukan siswa itu. Di Barat, khususnya Amerika Serikat, guru memiliki
buku pegangan yang mendeskripsikan bagaimana mereka seharusnya berhubungan
dengan siswa Afrika-Amerika, siswa Latin, siswa Asia Amerika, siswa Amerika
Asli, dan kelompok lain berdasarkan interpretasi terhadap tradisi dan gaya
komunikasi dari kelompok tertentu itu. Di Indonesia, khususnya di Jawa guru
perlu lebih mengenal budaya Jawa secara utuh budaya Jawa walaupun dia berasal
dari luar Jawa.
Tahap 5: Reformasi
Struktural
Materi, perspektif, dan suara baru diserukan
dengan kerangka kerja pengetahuan yang mutakhir untuk memberi tahap pemahaman
baru dari kurikulum yang lebih lengkap dan akurat. Guru mendedikasikan dirinya
untuk memperluas dasar pengetahuannya secara berkelanjutan melalui eksplorasi
berbagai perspektif, dan berbagi pengetahuan dengan siswanya. Siswa belajar
memandang peristiwa, konsep, dan fakta melalui berbagai kacamata. Misalnya,
untuk "Sejarah Amerika" mencakup sejarah orang Afrika-Amerika,
Sejarah Wanita, Sejarah orang Asia Amerika, Sejarah orang Amerika Latin, dan
semua bidang pengetahuan yang berbeda.
Tahap 6 Hubungan
Manusia (Mengapa-kita-tidak-semuanya-ikut-serta)
Anggota masyarakat sekolah didorong untuk
memperingati perbedaan dengan membuat hubungan lintas identitas kelompok yang
berbeda. Guru memperlihatkan antusiasme untuk mempelajari tentang budaya “yang
lain” melalui pendekatan Belajar dan Mengajar Antarbudaya (Intercultural
Teaching and Learning approach). Guru menggambarkan pengalaman pribadi siswa
sehingga siswa dapat belajar dari masing-masing yang lain. Melalui hubungan
antar pribadi, itu siswa dapat mengenal budaya siswa yang lain. Perbedaan
pengalaman dan budaya siswa yang berbeda-beda itu dilihat sebagai aset yang
memperkaya pengalaman kelas.
Tahap 7. Pendidikan
Multikultural Selektif (Kita melakukan Pendidikan Multikultural secara
temporer)
Guru dan staf memulai program temporer dan
satu waktu tertentu dengan mengenal adanya keketidak samaan dalam berbagai
aspek pendidikan. Mereka dipanggil bersama-sama dalam suatu pertemuan untuk
mendiskusikan konflik rasial atau mendatangkan seorang konsultan untuk membantu
guru merancang perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran yang ditujukan untuk
berbagai kelompok yang berbeda.
Tahap 8. Pendidikan
Multikultural Transformatif (Pendidikan persamaan dan Keadilan Sosial)
Semua praktek pendidikan dimulai dengan
penentuan yang sama pada semua aspek sekolah dan persekolahan dan menjamin
bahwa semua siswa memiliki kesempatan yang sama untuk menggapai potensi
sepenuhnya sebagai pelajar. Semua praktek pendidikan yang menguntungkan suatu
kelompok yang merugikan kelompok lain diubah untuk menjamin persamaan.
5. Strategi
Pembelajaran dan Metode untuk Humanisasi, Pendidikan Multikultural
Pada ahli teori kritis seperti Giroux,
Freire, and Anyon yang menekankan kebutuhan akan pedagogi humanisasi dengan "menciptakan
lingkungan yang memungkinkan adanya tindakan dan refleksi "
(Bartolome,1994: 177). Bartolome (1994: 177) mengusulkan dua model pembelajaran
yang memungkinkan “siswa yang tersubordinasi berubah dari posisi obyek menjadi
subyek”:
a.
Pembelajaran responsif
secara kultural. "kesulitan akademis siswa kelompoksubordinasi
disebabkan tidak adanya pertalian budaya atau diskontinuitasantara belajar,
pemakaian bahasa, dan praktek perilaku yang ditemukan di rumah dan
sekolah". Hal ini berarti budaya yang ada di sekolahmerupakan kepanjangan
tangan dari budaya yang ada di rumah. Untuk itupengajar harus "belajar
mendengar, belajar dari, dan menjadi mentorsiswanya"
b.
Strategic Teaching yang menunjuk pada
model pembelajaran yang secaraeksplisit mengajari siswa suatu strategi yang
memungkinkan mereka secara sadar memonitor belajarnya sendir .melalui
pengembangan monitoringkognitif reflektif dan ketrampilan metakognitif
1). Cooperative
Learning
Cooperative
Learning adalah metode esensial untuk mendesain pendidikan multikultural. Ini
bukan kerja kelompok dimana pengajar hanya menyusun siswa dalam suatu kelompok,
memberi suatu topik yang diarahkan untuk "diskusi."
Johnson dan Johnson (1994: 61) mendefinisikan
cooperative learning sebagai "penggunaan pembelajaran dari kelompok kecil
sehingga siswa bekerja bersama untuk memaksimalkan belajarnya sendiri maupun
masing-masing yang lain". Mereka menunjukkan bahwa cooperative learning
lebih sekedar diskusi, membantu, dan berbagi.
Lima elemen esensial cooperative learning
(Johnson dan Johnson, 1994: 64-71 adalah:
1.
Kemandirian positif (Positive
interdependence). Anggota kelompok memenuhi peranan (pembaca, mengecek,
pendorong) dan harus mencapai konsensus.
2.
Interaksi tatap muka yang promotif (Face-to-face promotive interaction). Siswa mendiskusikan, mengajar,
dan menjelaskan pada yang lain dalam cara-carapromotif yang "membantu,
mendorong dan mendukung masing-masingorang lain untuk belajar"
3.
Tanggung jawab individu (Individual accountability). Siswa dinilai secaraindividu. Ini
menjamin bahwa masing-masing orang melakukan "berbagi kerjasecara adil
" .
4.
Ketrampilan sosial (Social
skills). Siswa harus juga mempelajari ketrampilansosial yang diperlukan
untuk bekerja dengan orang lain: "ketrampilankepemimpinan, pembuatan
keputusan, pembangunan kepercayaan,komunikasidan manajemen konflik.
5. Keefektifan proses
kelompok (Groups process their
effectiveness). Kelompokmendiskusikan kemajuannya dan memberikan umpan
balik seperti terhadapapa masing-masing orang berkontribusi dan di mana
masing-masing orangdapat memperbaiki.
Sleeter and Grant (1999) menyoroti model-model
cooperative learning seperti group investigation model, jigsaw model, dan model
tim permainan.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Lingkungan sekolah
secara keseluruhan merupakan suatu sistem
yang terdiri dari sejumlah
variabel dan faktor utama yang dapat diidentifikasi sebagai budaya
sekolah, kebijakan dan politik
sekolah, dan kurikulum
formal dan bidang studi.
Variabel dan faktor
sekolah sebagai sistem sosial yaitu kebijakan dan politik sekolah, budaya sekolah
dan kurikulum yang tersembunyi, gaya belajar dan sekolah, bahasa dan dialek
sekolah, partisipasi dan input masyarakat, program penyuluhan/konseling,
prosedur asesmen dan pengujian, materi pembelajaran, gaya dan strategi mengajar
dan sikap, persepsi, kepercayaan dan perilaku stap sekolah.
Multikutural
adalah suatu realita masyarakat dan bangsa Indonesia. Realita
tersebut memang berposisi sebagai objek dalam proses pengembangan perencanaan dan pelaksanaan pendidikan,
termasuk di dalamnya Pendidikan
Multikultural. Tetapi posisi sebagai objek yang terabaikan dalam pengembangan perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran ini berubah menjadi subjek yang menentukan dalam implementasinya.
Oleh karena itu, multikultural tersebut harus menjadi faktor yang dipertimbangkan dalam penentuan filsafat, teori,
visi, pengembangan pembelajaran pendidikan, termasuk di dalamnya Pendidikan Multikultural.
B.
Saran
Pendidikan yang bernuansa budaya itu bukan hanya diterapkan di sekolah tinggi
tetapi juga harus diterapkan di sekolah
dasar dengan menggunakan berbagai metode dalam mengajar
agar peserta didik bisa mengenal budaya
yang ada di indonesia dengan baik.
DAFTAR
PUSTAKA
Muinarifah.blogspot.com/2014/08/sekolah-adalah-sistem-sosial-html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar