Kamis, 16 Juni 2016

Makalah Pendidikan Agama Islam Tentang Pernikahan Dalam Islam

BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar belakang
Manusia adalah salah satu makhluk yang sangat sempurna di bandingkan dengan makhluk dengan makhluk lainnya. Manusia di takdirkan untuk untuk hidup berpasang-pasangan satu dengan yang lainnya yakni berlainan jenis. Dengan jalan nikah inilah yang paling baik untuk dapat melangsungkan keturunan.

Pernikahan merupakan suatu akad untuk menghalalkan hubungan antara laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan kebahagiaan hidup berkeluarga yang diridhoi oleh Allah SWT. Dari pengertian itu dapat kita ketahui bahwa untuk menciptakan kehidupan keluarga yang bahagia, kemudian menghalalkan hubungan antara laki-laki dan perempuan, membangun rumah tangga yang tentram atas dasar cinta dan kasih sayang.
Dalam agama islam sudah jelas mana pernikahan yang dilarang dan mana yang diperbolehkan. Adapun yang dimaksud pernikahan yang dilarang yakni bentuk-bentuk perkawinan yang tidak boleh dilakukan seperti kawin Mut’ah, kawin Syighar dan lain-lain. Bentuk perkawinan tersebut merupakan bawaan yang berasal dari zaman jahiliyah yang mana pada zaman ini orang-orang bagaikan binatang yang memiliki prinsip siapa kuat dialah yang berkuasa.        
Adapun pernikahan yang diperbolehkan yaitu pernikahan yang sesuai dengan syari’at seperti ada kedua mempelai, saksi dan wali serta mahar dan apabila salah satu diantara syarat-syarat tersebut tidak dipenuhi maka pernikahannya tidak sah atau batal.
Jadi untuk mengetahui lebih lanjut mengenai pernikahan dalam agama islam , maka disusunlah makalah dengan judul “ Pernikahan Dalam Islam ”.



  
B.  Rumusan masalah
1.    Bagaimana pengertian nikah?
2.    Bagaimana hukum nikah?
3.    Apa saja hal-hal yang mengharamkan pernikahan?
4.    Apa saja syarat dan rukun nikah?
5.    Bagaimana tata cara pernikahan dalam hukum negara indonesia?

C.  Tujuan penulisan
1.    Untuk mengetahui pengertian nikah.
2.    Untuk mengetahui hukum nikah.
3.    Untuk mengetahui  hal-hal yang mengharamkan pernikahan.
4.    Untuk mengetahui  syarat dan rukun nikah.
5.    Untuk mengetahui  tata cara pernikahan dalam hukum negara indonesia.


















BAB II
PEMBAHASAN

A.  Pengertian Nikah
Munakahat berarti perkawinan atau pernikahan. Pernikahan berasal dari kata dasar nikah dalam bahasa indonesia artinya kawin. Menurut bahasa indonesia, nikah berarti berkumpul atau bersatu, sedangkan menurut terminologis adalah akad yang menghalalkan pergaulan antara laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim sehingga menimbulkan hak dan kewajiban diantara keduanya. Pernikahan dalam arti luas adalah suatu ikatan lahir batin antara laki-laki dan perempuan untuk hidup bersama dalam satu rumah tangga.
Menurut istilah hukum syarak, nikah ialah suatu akad atau ikatan perjanjian yang menghalalkan hubungan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang bukan muhrim untuk membentuk rumah tangga yang diridhoi oleh Allah SWT. Menurut Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Setiap manusia yang sudah dewasa serta sehat jasmani dan rohaninya pasti membutuhkan teman hidup yang berlawanan jenis kelaminnya. Teman hidup yang dapat memenuhi kebutuhan biologis, yang dapat mencintai dan dicintai, yang dapat mengasihi dan dikasihi, serta yang dapat bekerjasama untuk mewujudkan ketentraman, kedamaian, dan kesejahteraan dalam hidup berumah tangga. Niikah  termasuk perbuatan yang telah dicontohkan oleh nabi Muhammad saw, atau sunah Rasul. Dalam hal ini Rasulullah saw bersabda:
Dari Anas bin Malik, bahwasanya Nabi saw memuji Allah SWT dan menyanjung-Nya, beliau bersabda:” Akan tetapi aku shalat, tidur, berpuasa, makan, dan menikahi wanita, barang siapa yang tidak suka perbuatanku, maka bukanlah dia dari golonganku”. (HR. Al-Bukhari dan muslim)



B.  Hukum Nikah
Nikah atau perkawinan merupakan suatu hal yang sangat penting dan mulia demi terwujudnya suatu rumah tangga yang teratur, harmonis dan sejahtera, serta terpeliharanya keturunan. Pernikahan sangat dianjurkan dalam islam bagi orang yang telah memiliki kemampuan, baik lahir maupun batin. Menurut sebagian besar ulama hukum nikah pada dasarnya adalah mubah, artinya boleh dikerjakan dan boleh ditinggalkan. Kemudian hukumnya bergantung pada kondisi atau keadaan orang yang bersangkutan, hukum pernikahan terbagi ke dalam lima kategori hukum sebagai berikut:
1.    Mubah
Hukum asli pernikahan adalah mubah atau boleh, artinya setiap orang yang memenuhi syarat-syarat tertentu boleh menikah dengan calon pasangannya. Mubah artinya boleh dikerjakan boleh ditinggalkan. Dikerjakan tidak ada pahalanya dan ditinggalkan tidak berdosa. Meskipun demikian, ditinjau dari segi kondisi orang yang akan melakukan pernikahan, hukum nikah dapat berubah menjadi sunnah, wajib, makruh atau haram.
2.    Sunnah
Nikah hukumnya sunnah bagi mereka yang telah memenuhi syarat-syarat pernikahan dan berkeinginan untuk menikah, mempunyai kemampuan lahir (memberi nafkah) dan batin (sehat mental dan rohaninya), serta memiliki tanggung jawab terhadap rumah tangga dan mampu mengendalikan diri dari perzinaan walaupun tidak segera atau bagi orang yang berkeinginan menikah serta cukup sandang pangan.
3.    Wajib 
Nikah bagi mereka yang telah mempunyai kemampuan lahir dan batin, cukup umur, mampu mencukupi kebutuhan rumah tangga, serta khawatir terjerumus ke dalam perbuatan zina maka hukumnya wajib. Sebab ditakutkan terjerumus ke lembah perzinaan dan seks bebas yang mendatangkan dosa besar.



4.    Makruh
Nikah hukumnya makruh bagi mereka yang berkeinginan untuk menikah, namun belum mempunyai kemampuan memberi nafkah. Dikhawatirkan setelah menikah tidak bertanggung jawab atas rumah tangganya.
5.    Haram
Nikah juga menjadi haram hukumnya manakala pernikahan tersebut dimaksudkan untuk menyakiti atau balas dendam terhadap pasangannya, atau menikahi orang atau pasangan yang masih mahram.

C.  Hal – Hal Yang Mengharamkan Pernikahan
Allah tidak membiarkan para hamba-Nya hidup tanpa aturan. Bahkan dalam masalah pernikahan, Allah dan Rasul-Nya menjelaskan berbagai pernikahan yang dilarang dilakukan. Oleh karenanya, wajib bagi seluruh kaum muslimin untuk menjauhinya.
1. Nikah Syighar
Definisi nikah ini sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
 “Nikah syighar adalah seseorang yang berkata kepada orang lain, ‘Nikahkanlah aku dengan puterimu, maka aku akan nikahkan puteriku dengan dirimu.’ Atau berkata, ‘Nikahkanlah aku dengan saudara perempuanmu, maka aku akan nikahkan saudara perempuanku dengan dirimu.”
Dalam hadits lain, beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
 “Tidak ada nikah syighar dalam Islam.”
Hadits-hadits shahih di atas menjadi dalil atas haram dan tidak sahnya nikah syighar. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak membedakan, apakah nikah tersebut disebutkan mas kawin ataukah tidak.


2. Nikah Tahlil
Yaitu menikahnya seorang laki-laki dengan seorang wanita yang sudah ditalak tiga oleh suami sebelumnya. Lalu laki-laki tersebut mentalaknya. Hal ini bertujuan agar wanita tersebut dapat dinikahi kembali oleh suami sebelumnya (yang telah mentalaknya tiga kali) setelah masa ‘iddah wanita itu selesai.
Nikah semacam ini haram hukumnya dan termasuk dalam perbuatan dosa besar. 3. Nikah Mut’ah
Nikah mut’ah disebut juga nikah sementara atau nikah terputus. Yaitu menikahnya seorang laki-laki dengan seorang wanita dalam jangka waktu tertentu; satu hari, tiga hari, sepekan, sebulan, atau lebih.
Para ulama kaum muslimin telah sepakat tentang haram dan tidak sahnya nikah mut’ah. Apabilah telah terjadi, maka nikahnya batal!
Telah diriwayatkan dari Sabrah al-Juhani radhiyal-laahu ‘anhu, ia berkata,

. “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah memerintahkan kami untuk melakukan nikah mut’ah pada saat Fat-hul Makkah ketika memasuki kota Makkah. Kemudian sebelum kami mening-galkan Makkah, beliau pun telah melarang kami darinya (melakukan nikah mut’ah).”

Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Wahai sekalian manusia! Sesungguhnya aku pernah mengijinkan kalian untuk bersenang-senang dengan wanita (nikah mut’ah selama tiga hari). Dan sesungguhnya Allah telah mengharamkan hal tersebut (nikah mut’ah) selama-lamanya hingga hari Kiamat.”






4. Nikah Dalam Masa ‘Iddah.
Berdasarkan firman Allah Ta’ala:

وَلَا تَعْزِمُوا عُقْدَةَ النِّكَاحِ حَتَّىٰ يَبْلُغَ الْكِتَابُ أَجَلَهُ
 “Dan janganlah kamu menetapkan akad nikah, sebelum habis masa ‘iddahnya.” [Al-Baqarah : 235]
5. Nikah Dengan Wanita Kafir Selain Yahudi Dan Nasrani.
Berdasarkan firman Allah Ta’ala:
 “Dan janganlah kaum nikahi perempuan musyrik, sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya perempuan yang beriman lebih baik daripada perempuan musyrik meskipun ia menarik hatimu. Dan janganlah kamu nikahkan orang (laki-laki) musyrik (dengan perempuan yang beriman) sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya laki-laki yang beriman lebih baik daripada laki-laki musyrik meskipun ia menarik hatimu. Mereka mengajak ke Neraka, sedangkan Allah mengajak ke Surga dan ampunan dengan izin-Nya. (Allah) menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia agar mereka mengambil pelajaran.” [Al-Baqarah : 221]
6. Nikah Dengan Wanita-Wanita Yang Diharamkan Karena Senasib Atau Hubungan Kekeluargaan Karena Pernikahan.       
Berdasarkan firman Allah Ta’ala:
 “Diharamkan atas kamu (menikahi) ibu-ibumu, anak-anak perempuanmu, saudara-saudara perempuanmu, saudara-saudara perempuan ayahmu, saudara-saudara perempuan ibumu, anak-anak perempuan dari saudara laki-lakimu, anak-anak perempuan dari saudara perem-puanmu, ibu-ibu yang menyusuimu, saudara-saudara perempuan yang satu susuan denganmu, ibu-ibu isterimu (mertua), anak-anak perempuan dari isterimu (anak tiri) yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum mencampurinya (dan sudah kamu ceraikan) maka tidak berdosa atasmu (jika menikahinya), (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu), dan (diharamkan) mengumpulkan (dalam pernikahan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” [An-Nisaa' : 23]
7. Nikah Dengan Wanita Yang Haram Dinikahi Disebabkan Sepersusuan, Berdasarkan Ayat Di Atas.
 8. Nikah Yang Menghimpun Wanita Dengan Bibinya, Baik Dari Pihak Ayahnya Maupun Dari Pihak ibunya.
Berdasarkan sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
لاَ يُجْمَعُ بَيْنَ الْمَرْأَةِ وَعَمَّتِهَا وَلاَ بَيْنَ الْمَرْأَةِ وَخَالَتِهَا.
 “Tidak boleh dikumpulkan antara wanita dengan bibinya (dari pihak ayah), tidak juga antara wanitadengan bibinya (dari pihak ibu).”
9. Nikah Dengan Istri Yang Telah Ditalak Tiga.       
Wanita diharamkan bagi suaminya setelah talak tiga. Tidak dihalalkan bagi suami untuk menikahinya hingga wanitu itu menikah dengan orang lain dengan pernikahan yang wajar (bukan nikah tahlil), lalu terjadi cerai antara keduanya. Maka suami sebelumnya diboleh-kan menikahi wanita itu kembali setelah masa ‘iddahnya selesai.
Berdasarkan firman Allah Ta’ala:
“Kemudian jika ia menceraikannya (setelah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya sebelum ia menikah dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (suami pertama dan bekas isteri) untuk menikah kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah ketentuan-ketentuan Allah yang diterangkan-Nya kepada orang-orang yang berpengetahuan.” [Al-Baqarah : 230]
Wanita yang telah ditalak tiga kemudian menikah dengan laki-laki lain dan ingin kembali kepada suaminya yang pertama, maka ketententuannya adalah keduanya harus sudah bercampur (bersetubuh) kemudian terjadi perceraian, maka setelah ‘iddah ia boleh kembali kepada suaminya yang pertama. Dasar harus dicampuri adalah sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam,
10. Nikah Pada Saat Melaksanakan Ibadah Ihram.
Orang yang sedang melaksanakan ibadah ihram tidak boleh menikah, berdasarkan sabda Nabi shallal-laahu ‘alaihi wa sallam:
اَلْمُحْرِمُ لاَ يَنْكِحُ وَلاَ يَخْطُبُ.
 “Orang yang sedang ihram tidak boleh menikah atau melamar.”
11. Nikah Dengan Wanita Yang Masih Bersuami. 
Berdasarkan firman Allah Ta’ala:
 “Dan (diharamkan juga kamu menikahi) perempuan yang bersuami...” [An-Nisaa' : 24]
12. Nikah Dengan Wanita Pezina/Pelacur.      
Berdasarkan firman Allah Ta’ala:
"Pezina laki-laki tidak boleh menikah kecuali dengan pezina perempuan, atau dengan perempuan musyrik; dan pezina perempuan tidak boleh menikah kecuali dengan pezina laki-laki atau dengan laki-laki musyrik; dan yang demikian itu diharamkan bagi orang-orang mukmin.” [An-Nuur : 3]
Seorang laki-laki yang menjaga kehormatannya tidak boleh menikah dengan seorang pelacur. Begitu juga wanita yang menjaga kehormatannya tidak boleh menikah dengan laki-laki pezina.
 Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala:
“Perempuan-perempuan yang keji untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji untuk perempuan-perempuan yang keji (pula), sedangkan perempuan-perempuan yang baik untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik untuk perempuan-perempuan yang baik (pula). Mereka itu bersih dari apa yang dituduhkan orang. Mereka memperoleh ampunan dan rizki yang mulia (Surga).” [An-Nuur : 26]
Namun apabila keduanya telah bertaubat dengan taubat yang nashuha (benar, jujur dan ikhlas) dan masing-masing memperbaiki diri, maka boleh dinikahi.
Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhuma pernah berkata mengenai laki-laki yang berzina kemudian hendak menikah dengan wanita yang dizinainya, beliau berkata, “Yang pertama adalah zina dan yang terakhir adalah nikah. Yang pertama adalah haram sedangkan yang terakhir halal.”

13. Nikah Dengan Lebih Dari Empat Wanita.
Berdasarkan firman Allah Ta’ala:
“Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat...” [An-Nisaa' : 3]
Ketika ada seorang Shahabat bernama Ghailan bin Salamah masuk Islam dengan isteri-isterinya, sedangkan ia memiliki sepuluh orang isteri. Maka Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk memilih empat orang isteri, beliau bersabda,
 “Tetaplah engkau bersama keempat isterimu dan ceraikanlah selebihnya.”
Juga ketika ada seorang Shahabat bernama Qais bin al-Harits mengatakan bahwa ia akan masuk Islam sedangkan ia memiliki delapan orang isteri. Maka ia mendatangi Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan men-ceritakan keadaannya. Maka Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
اخْتَرْ مِنْهُنَّ أَرْبَعًا.
 “Pilihlah empat orang dari mereka.”
D.  Syarat Dan Rukun Nikah
Rukun nikah itu ada lima yaitu sebagai berikut:
1.    Calon Suami
Calon suami, dengan syarat:
a.    Beragama islam
b.    Bukan muhrimnya wanita, baik muhrim nasab, rodlo’, mushoharoh
c.    Muhrim nasabah ialah orang yang tidak boleh dinikahi karena keturunan.
d.   Tidak dipaksa atau terpaksa
e.    Tidak punya istri yang haram dimadu dengan bakal istrinya
f.     Tidak sedang ihram haji/umrah

2.    Calon Istri
Calon istri dengan syarat:
a.    Beragama islam
b.    Tidak bersuami atau tidak dalam masa iddah
c.    Bukan muhrimnya calon suami
d.   Jelas orangnya
e.    Bukan dalam keadaan berihram haji/umrah
f.     Bukan wanita musyrik.

3.    Wali
Wali adalah orang yang bertanggung jawab menikahkan pengantin perempuan, baik wali nasab maupun wali hakim berhak menikahkan ,dengan syarat:
a.    Beragam islam
b.    Lelaki dan bukannya perempuan
c.    Baligh
d.   Dengan kerelaan sendiri dan bukan paksaan
e.    Bukan dalam ihram haji atau umrah
f.     Tidak fasiq
g.    Tidak cacat akal fikiran,gila, terlalu tua dan sebagainya
h.    Merdeka
4.    Dua Orang Saksi
Syarat untuk menjadi saksi yaitu sebagai berikut:
a.    Minimal dua orang saksi
b.    Islam
c.    Baligh
d.   Berakal
e.    Merdeka
f.     Laki-laki
g.    Adil

5.    Ijab & Qabul
Ijab ialah ucapan wali yang berisi pernyataan menikahkan anaknya atau yang menjadi anak karena pertalian darah. Misalnya, saya nikahkan engkau dengan anak saya bernama zahra binti Abdul Razaq dengan maskawin sebuah kitab suci Alqur’an dan seperangkat alat salat tunai.
Kabul ialah ucapan salon suami yang berisi penerimaan nikah dirinya dengan calon istrinya. Misalnya, saya terima nikahnya Zahra binti Abdul Razaq dengan maskawin satu buah kitab suci Alqur’an dan seperangkat alat salat dibayar tunai.
Mahar atau  maskawin yaitu suatu pemberian oleh calon suami kepada calon istri yang diserahkan pada saat akad nikah berlangsung. Mahar bisa berupa benda apa saja, sepanjang benda itu memiliki manfaat bagi penerimanya. Misalnya uang, emas, berlian, pakaian, kitab suci Alqur’an, atau mungkin melaksanakan ibadah haji bersama. Memberikan mahar hukumnya wajib, namun harus disesuaikan dengan kemampuan calon suami dan kesukaan calon istri. Perhatikan firman Allah Swt berikut!
“ Dan  berikanlah maskawin (mahar) kepada perempuan (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka terimalah (dan nikmatilah) pemberian itu dengan senang hati” (Q.S. An-Nisa, 4:4)
E.  Tata Cara Pernikahan Dalam Hukum Negara Indonesia
 Tata cara melangsungkan perkawinan berbeda antara agama yang satu dengan agama yang lain. Namun secara garis besar tata cara melangsungkan perkawinan diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975  tentang pelaksanaan  Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (PP 9/1975). Tata cara melangsungkan perkawinan terbagi menjadi empat tahap. yaitu:
1.    Laporan
2.    Pengumuman
3.    Pencegahan
4.    Pelangsungan
Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan terlebih dahulu memberitahukan kepada Pegawai Pencatat di tempat perkawinan akan dilangsungkan paling lambat 10 hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan. Pemberitahuan tersebut dilakukan secara lisan atau tertulis oleh calon mempelai atau orang tua atau wakilnya. Pemberitahuan tersebut memuat nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman calon mempelai dan apabila salah seorang atau keduanya pernah kawin, disebutkan nama istri atau suami terdahulu.
Pegawai pencatat akan melakukan penelitian terhadap pemberitahuan tersebut. Apabila tata cara dan syarat-syarat pemberitahuan telah dipenuhi dan tidak terdapat halangan perkawinan, maka dilakukan pengumuman. Pengumuman ditempelkan di tempat yang sudah ditentukan dan mudah dibaca oleh umum. Tujuan dari adanya pemberitahuan dan pengumuman adalah:
1.    Memberikan kesempatam kepada pihak yang mengetahui adanya halangan perkawinan untuk mencegahnya.
2.    Menjamin agar penjabat tidak begitu saja dengan mudahnya melangsungkan perkawinan,
3.    Memberikan perlindungan kepada calon suami istri dari perbuatan yang tergesa-gesa.
4.    Mencegah perkawinan klandistin.
5.    Memberikan kepastian tentang adanya perkawinan.
Perkawinan dilangsungkan paling tidak 10 hari setelah dilakukannya pengumuman  perkawinan. Apabila tidak ada pihak yang melakukan pencegahan perkawinan, maka perkawinan dilakukan sesuai hukum agama dan kepercayaan masing-masing dihadapan pegawai pencatat serta dihadiri oleh dua orang saksi. Setelah perkawinan dilangsungkan, kedua mempelai, para saksi dan pegawai pencatat memberikan tanda tangannya pada akta perkawinan. Khusus untuk perkawinan yang dilangsungkan menurut agama islam, akta perkawinan juga ditandatangani oleh wali nikah atau yang mewakilinya. Penandatanganan akta  telah tercatat secara resmi. Akta perkawinan dibuat dalam dua rangkap, yang pertama disimpan oleh pegawai pencatat, sedangkan yang lainnya disimpan di panitera pengadilan dal wilayah kantor pencatatan perkawinan itu berada. Sedangkan kepada suami dan istri  masing-masing diberikan kutipan dari akta perkawinan.














BAB III
PENUTUP

A.  Kesimpulan
Pernikahan merupakan suatu akad untuk menghalalkan hubungan antara laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan kebahagiaan hidup berkeluarga yang diridhoi oleh Allah SWT. Menurut sebagian besar ulama hukum nikah pada dasarnya adalah mubah, artinya boleh dikerjakan dan boleh ditinggalkan. Kemudian hukumnya bergantung pada kondisi atau keadaan orang yang bersangkutan, hukum pernikahan terbagi ke dalam lima kategori hukum yaitu mubah,  sunnah, wajib, makruh dan haram.
Allah dan Rasul-Nya menjelaskan berbagai pernikahan yang dilarang dilakukan seperti nikah syighar, nikah tahlil, nikah mut’ah, nikah dalam masa ‘iddah, nikah dengan wanita kafir selain yahudi dan nasrani, nikah dengan wanita-wanita yang diharamkan karena senasib atau hubungan kekeluargaan karena pernikahan, nikah dengan wanita yang haram dinikahi disebabkan sepersusuan, nikah yang menghimpun wanita dengan bibinya, baik dari pihak ayahnya maupun dari pihak ibunya, nikah dengan isteri yang telah ditalak tiga, nikah dengan wanita yang masih bersuami, nikah dengan wanita pezina/pelacur dan lain-lain. Rukun nikah itu ada lima yaitu sebagai berikut: calon suami, calon istri, wali, dua orang saksi, ijab dan qabul.
 tata cara melangsungkan perkawinan diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975  tentang pelaksanaan  Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (PP 9/1975). Tata cara melangsungkan perkawinan terbagi menjadi empat tahap. yaitu: laporan, pengumuman, pencegahan dan pelangsungan.





B.  Saran
Sebagai seorang muslim sebaiknya melakukan jalan nikah untuk  menghindari dan menjauhkan perbuatan  kearah perzinahan. Dengan pernikahan dapat menghalalkan hubungan antara laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan kebahagiaan hidup berkeluarga yang diridhoi oleh Allah SWT. membuat kedua mempelai  menjadi tentram dan damai.

























DAFTAR PUSTAKA

Suryana Toto, Alba Cecep, dan Syamsudin. 1996. Pendidikan Agama Islam. Bandung: Tiga Mutiara.
Saminu. 2013. Pendidikan Agama Islam SMA/MA dan SMK/MAK Kelas XII. Semarang: Viva Pakarindo.
Supriadi. 2015. Pendidikan Agama Islam Untuk Perguruan Tinggi. Bandung: CV. Maulana Media Grafika.
www.jurnalhukum.com/tata-cara-melangsungkan-perkawinan/


1 komentar: