BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Manusia adalah salah satu makhluk yang sangat sempurna
di bandingkan dengan makhluk dengan makhluk lainnya. Manusia di takdirkan untuk
untuk hidup berpasang-pasangan satu dengan yang lainnya yakni berlainan jenis.
Dengan jalan nikah inilah yang paling baik untuk dapat melangsungkan keturunan.
Pernikahan merupakan suatu akad untuk menghalalkan
hubungan antara laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan kebahagiaan
hidup berkeluarga yang diridhoi oleh Allah SWT. Dari pengertian itu dapat kita
ketahui bahwa untuk menciptakan kehidupan keluarga yang bahagia, kemudian
menghalalkan hubungan antara laki-laki dan perempuan, membangun rumah tangga
yang tentram atas dasar cinta dan kasih sayang.
Dalam agama islam sudah jelas mana pernikahan yang
dilarang dan mana yang diperbolehkan. Adapun yang dimaksud pernikahan yang
dilarang yakni bentuk-bentuk perkawinan yang tidak boleh dilakukan seperti
kawin Mut’ah, kawin Syighar dan lain-lain. Bentuk perkawinan tersebut merupakan
bawaan yang berasal dari zaman jahiliyah yang mana pada zaman ini orang-orang
bagaikan binatang yang memiliki prinsip siapa kuat dialah yang berkuasa.
Adapun pernikahan yang diperbolehkan yaitu pernikahan
yang sesuai dengan syari’at seperti ada kedua mempelai, saksi dan wali serta
mahar dan apabila salah satu diantara syarat-syarat tersebut tidak dipenuhi
maka pernikahannya tidak sah atau batal.
Jadi untuk mengetahui lebih lanjut mengenai pernikahan
dalam agama islam , maka disusunlah makalah dengan judul “ Pernikahan Dalam
Islam ”.
B. Rumusan masalah
1. Bagaimana
pengertian nikah?
2. Bagaimana
hukum nikah?
3. Apa
saja hal-hal yang mengharamkan pernikahan?
4. Apa
saja syarat dan rukun nikah?
5. Bagaimana
tata cara pernikahan dalam hukum negara indonesia?
C. Tujuan penulisan
1. Untuk
mengetahui pengertian nikah.
2. Untuk
mengetahui hukum nikah.
3. Untuk
mengetahui hal-hal yang mengharamkan
pernikahan.
4. Untuk
mengetahui syarat dan rukun nikah.
5. Untuk
mengetahui tata cara pernikahan dalam
hukum negara indonesia.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Nikah
Munakahat berarti perkawinan atau
pernikahan. Pernikahan berasal dari kata dasar nikah dalam bahasa indonesia
artinya kawin. Menurut bahasa indonesia, nikah berarti berkumpul atau bersatu, sedangkan
menurut terminologis adalah akad yang menghalalkan pergaulan antara laki-laki
dan perempuan yang bukan muhrim sehingga menimbulkan hak dan kewajiban diantara
keduanya. Pernikahan dalam arti luas adalah suatu ikatan lahir batin antara
laki-laki dan perempuan untuk hidup bersama dalam satu rumah tangga.
Menurut istilah hukum syarak, nikah
ialah suatu akad atau ikatan perjanjian yang menghalalkan hubungan antara
seorang laki-laki dan seorang perempuan yang bukan muhrim untuk membentuk rumah
tangga yang diridhoi oleh Allah SWT. Menurut Undang-Undang Perkawinan Nomor 1
Tahun 1974, perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Setiap manusia yang sudah dewasa serta
sehat jasmani dan rohaninya pasti membutuhkan teman hidup yang berlawanan jenis
kelaminnya. Teman hidup yang dapat memenuhi kebutuhan biologis, yang dapat
mencintai dan dicintai, yang dapat mengasihi dan dikasihi, serta yang dapat
bekerjasama untuk mewujudkan ketentraman, kedamaian, dan kesejahteraan dalam
hidup berumah tangga. Niikah termasuk
perbuatan yang telah dicontohkan oleh nabi Muhammad saw, atau sunah Rasul.
Dalam hal ini Rasulullah saw bersabda:
Dari Anas bin Malik, bahwasanya
Nabi saw memuji Allah SWT dan menyanjung-Nya, beliau bersabda:” Akan tetapi aku
shalat, tidur, berpuasa, makan, dan menikahi wanita, barang siapa yang tidak
suka perbuatanku, maka bukanlah dia dari golonganku”. (HR. Al-Bukhari dan
muslim)
B. Hukum Nikah
Nikah atau perkawinan merupakan
suatu hal yang sangat penting dan mulia demi terwujudnya suatu rumah tangga
yang teratur, harmonis dan sejahtera, serta terpeliharanya keturunan.
Pernikahan sangat dianjurkan dalam islam bagi orang yang telah memiliki kemampuan,
baik lahir maupun batin. Menurut sebagian besar ulama hukum nikah pada dasarnya
adalah mubah, artinya boleh dikerjakan dan boleh ditinggalkan. Kemudian
hukumnya bergantung pada kondisi atau keadaan orang yang bersangkutan, hukum
pernikahan terbagi ke dalam lima kategori hukum sebagai berikut:
1. Mubah
Hukum
asli pernikahan adalah mubah atau boleh, artinya setiap orang yang memenuhi
syarat-syarat tertentu boleh menikah dengan calon pasangannya. Mubah artinya
boleh dikerjakan boleh ditinggalkan. Dikerjakan tidak ada pahalanya dan
ditinggalkan tidak berdosa. Meskipun demikian, ditinjau dari segi kondisi orang
yang akan melakukan pernikahan, hukum nikah dapat berubah menjadi sunnah,
wajib, makruh atau haram.
2. Sunnah
Nikah hukumnya sunnah bagi mereka yang
telah memenuhi syarat-syarat pernikahan dan berkeinginan untuk menikah,
mempunyai kemampuan lahir (memberi nafkah) dan batin (sehat mental dan
rohaninya), serta memiliki tanggung jawab terhadap rumah tangga dan mampu
mengendalikan diri dari perzinaan walaupun tidak segera atau bagi orang yang
berkeinginan menikah serta cukup sandang pangan.
3. Wajib
Nikah bagi mereka yang telah mempunyai
kemampuan lahir dan batin, cukup umur, mampu mencukupi kebutuhan rumah tangga,
serta khawatir terjerumus ke dalam perbuatan zina maka hukumnya wajib. Sebab
ditakutkan terjerumus ke lembah perzinaan dan seks bebas yang mendatangkan dosa
besar.
4. Makruh
Nikah
hukumnya makruh bagi mereka yang berkeinginan untuk menikah, namun belum
mempunyai kemampuan memberi nafkah. Dikhawatirkan setelah menikah tidak
bertanggung jawab atas rumah tangganya.
5. Haram
Nikah
juga menjadi haram hukumnya manakala pernikahan tersebut dimaksudkan untuk
menyakiti atau balas dendam terhadap pasangannya, atau menikahi orang atau
pasangan yang masih mahram.
C. Hal – Hal Yang Mengharamkan
Pernikahan
Allah tidak
membiarkan para hamba-Nya hidup tanpa aturan. Bahkan dalam masalah pernikahan,
Allah dan Rasul-Nya menjelaskan berbagai pernikahan yang dilarang dilakukan.
Oleh karenanya, wajib bagi seluruh kaum muslimin untuk menjauhinya.
1. Nikah Syighar
1. Nikah Syighar
Definisi nikah ini sebagaimana yang
disabdakan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
“Nikah
syighar adalah seseorang yang berkata kepada orang lain, ‘Nikahkanlah aku
dengan puterimu, maka aku akan nikahkan puteriku dengan dirimu.’ Atau berkata,
‘Nikahkanlah aku dengan saudara perempuanmu, maka aku akan nikahkan saudara
perempuanku dengan dirimu.”
Dalam
hadits lain, beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Tidak
ada nikah syighar dalam Islam.”
Hadits-hadits
shahih di atas menjadi dalil atas haram dan tidak sahnya nikah syighar. Nabi
shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak membedakan, apakah nikah tersebut disebutkan
mas kawin ataukah tidak.
2. Nikah Tahlil
Yaitu menikahnya
seorang laki-laki dengan seorang wanita yang sudah ditalak tiga oleh suami
sebelumnya. Lalu laki-laki tersebut mentalaknya. Hal ini bertujuan agar wanita
tersebut dapat dinikahi kembali oleh suami sebelumnya (yang telah mentalaknya
tiga kali) setelah masa ‘iddah wanita itu selesai.
Nikah semacam ini haram hukumnya dan termasuk dalam perbuatan dosa besar. 3. Nikah Mut’ah
Nikah semacam ini haram hukumnya dan termasuk dalam perbuatan dosa besar. 3. Nikah Mut’ah
Nikah mut’ah
disebut juga nikah sementara atau nikah terputus. Yaitu menikahnya seorang
laki-laki dengan seorang wanita dalam jangka waktu tertentu; satu hari, tiga
hari, sepekan, sebulan, atau lebih.
Para ulama kaum muslimin telah
sepakat tentang haram dan tidak sahnya nikah mut’ah. Apabilah telah terjadi,
maka nikahnya batal!
Telah diriwayatkan dari Sabrah
al-Juhani radhiyal-laahu ‘anhu, ia berkata,
. “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah memerintahkan kami
untuk melakukan nikah mut’ah pada saat Fat-hul Makkah ketika memasuki kota
Makkah. Kemudian sebelum kami mening-galkan Makkah, beliau pun telah melarang
kami darinya (melakukan nikah mut’ah).”
Dalam riwayat
lain disebutkan bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Wahai
sekalian manusia! Sesungguhnya aku pernah mengijinkan kalian untuk
bersenang-senang dengan wanita (nikah mut’ah selama tiga hari). Dan
sesungguhnya Allah telah mengharamkan hal tersebut (nikah mut’ah)
selama-lamanya hingga hari Kiamat.”
4. Nikah Dalam Masa ‘Iddah.
Berdasarkan
firman Allah Ta’ala:
وَلَا
تَعْزِمُوا عُقْدَةَ النِّكَاحِ حَتَّىٰ يَبْلُغَ الْكِتَابُ أَجَلَهُ
“Dan janganlah kamu menetapkan akad nikah,
sebelum habis masa ‘iddahnya.” [Al-Baqarah : 235]
5.
Nikah Dengan Wanita Kafir Selain Yahudi Dan Nasrani.
Berdasarkan firman Allah Ta’ala:
“Dan janganlah kaum nikahi perempuan musyrik,
sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya perempuan yang beriman lebih baik
daripada perempuan musyrik meskipun ia menarik hatimu. Dan janganlah kamu
nikahkan orang (laki-laki) musyrik (dengan perempuan yang beriman) sebelum
mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya laki-laki yang beriman lebih baik
daripada laki-laki musyrik meskipun ia menarik hatimu. Mereka mengajak ke
Neraka, sedangkan Allah mengajak ke Surga dan ampunan dengan izin-Nya. (Allah)
menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia agar mereka mengambil pelajaran.” [Al-Baqarah : 221]
6. Nikah Dengan Wanita-Wanita Yang
Diharamkan Karena Senasib Atau Hubungan Kekeluargaan Karena Pernikahan.
Berdasarkan firman Allah Ta’ala:
“Diharamkan
atas kamu (menikahi) ibu-ibumu, anak-anak perempuanmu, saudara-saudara
perempuanmu, saudara-saudara perempuan ayahmu, saudara-saudara perempuan ibumu,
anak-anak perempuan dari saudara laki-lakimu, anak-anak perempuan dari saudara
perem-puanmu, ibu-ibu yang menyusuimu, saudara-saudara perempuan yang satu
susuan denganmu, ibu-ibu isterimu (mertua), anak-anak perempuan dari isterimu
(anak tiri) yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri,
tetapi jika kamu belum mencampurinya (dan sudah kamu ceraikan) maka tidak
berdosa atasmu (jika menikahinya), (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak
kandungmu (menantu), dan (diharamkan) mengumpulkan (dalam pernikahan) dua
perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau. Sungguh,
Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” [An-Nisaa' : 23]
7.
Nikah Dengan Wanita Yang Haram Dinikahi Disebabkan Sepersusuan, Berdasarkan
Ayat Di Atas.
8. Nikah Yang Menghimpun Wanita Dengan
Bibinya, Baik Dari Pihak Ayahnya Maupun Dari Pihak ibunya.
Berdasarkan sabda Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
لاَ
يُجْمَعُ بَيْنَ الْمَرْأَةِ وَعَمَّتِهَا وَلاَ بَيْنَ الْمَرْأَةِ وَخَالَتِهَا.
“Tidak boleh dikumpulkan antara wanita dengan
bibinya (dari pihak ayah), tidak juga antara wanitadengan bibinya (dari pihak
ibu).”
9. Nikah Dengan Istri Yang Telah Ditalak
Tiga.
Wanita
diharamkan bagi suaminya setelah talak tiga. Tidak dihalalkan bagi suami untuk
menikahinya hingga wanitu itu menikah dengan orang lain dengan pernikahan yang
wajar (bukan nikah tahlil), lalu terjadi cerai antara keduanya. Maka suami
sebelumnya diboleh-kan menikahi wanita itu kembali setelah masa ‘iddahnya
selesai.
Berdasarkan firman Allah Ta’ala:
“Kemudian
jika ia menceraikannya (setelah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak
halal lagi baginya sebelum ia menikah dengan suami yang lain. Kemudian jika
suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (suami
pertama dan bekas isteri) untuk menikah kembali jika keduanya berpendapat akan
dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah ketentuan-ketentuan Allah yang
diterangkan-Nya kepada orang-orang yang berpengetahuan.” [Al-Baqarah : 230]
Wanita yang telah ditalak tiga kemudian
menikah dengan laki-laki lain dan ingin kembali kepada suaminya yang pertama,
maka ketententuannya adalah keduanya harus sudah bercampur (bersetubuh)
kemudian terjadi perceraian, maka setelah ‘iddah ia boleh kembali kepada
suaminya yang pertama. Dasar harus dicampuri adalah sabda Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam,
10. Nikah Pada Saat Melaksanakan
Ibadah Ihram.
Orang yang
sedang melaksanakan ibadah ihram tidak boleh menikah, berdasarkan sabda Nabi
shallal-laahu ‘alaihi wa sallam:
اَلْمُحْرِمُ
لاَ يَنْكِحُ وَلاَ يَخْطُبُ.
“Orang yang sedang ihram tidak boleh menikah
atau melamar.”
11.
Nikah Dengan Wanita Yang Masih Bersuami.
Berdasarkan firman Allah Ta’ala:
“Dan (diharamkan juga kamu menikahi) perempuan
yang bersuami...”
[An-Nisaa' : 24]
12. Nikah Dengan Wanita Pezina/Pelacur.
Berdasarkan
firman Allah Ta’ala:
"Pezina
laki-laki tidak boleh menikah kecuali dengan pezina perempuan, atau dengan
perempuan musyrik; dan pezina perempuan tidak boleh menikah kecuali dengan
pezina laki-laki atau dengan laki-laki musyrik; dan yang demikian itu
diharamkan bagi orang-orang mukmin.” [An-Nuur : 3]
Seorang laki-laki yang menjaga
kehormatannya tidak boleh menikah dengan seorang pelacur. Begitu juga wanita
yang menjaga kehormatannya tidak boleh menikah dengan laki-laki pezina.
Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala:
“Perempuan-perempuan yang keji
untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji untuk perempuan-perempuan
yang keji (pula), sedangkan perempuan-perempuan yang baik untuk laki-laki yang
baik, dan laki-laki yang baik untuk perempuan-perempuan yang baik (pula).
Mereka itu bersih dari apa yang dituduhkan orang. Mereka memperoleh ampunan dan
rizki yang mulia (Surga).”
[An-Nuur : 26]
Namun apabila
keduanya telah bertaubat dengan taubat yang nashuha (benar, jujur dan ikhlas)
dan masing-masing memperbaiki diri, maka boleh dinikahi.
Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu
‘anhuma pernah berkata mengenai laki-laki yang berzina kemudian hendak menikah
dengan wanita yang dizinainya, beliau berkata, “Yang pertama adalah zina dan
yang terakhir adalah nikah. Yang pertama adalah haram sedangkan yang terakhir
halal.”
13. Nikah Dengan Lebih Dari Empat
Wanita.
Berdasarkan firman Allah Ta’ala:
“Dan
jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan
yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu
senangi: dua, tiga, atau empat...” [An-Nisaa' : 3]
Ketika ada seorang Shahabat bernama
Ghailan bin Salamah masuk Islam dengan isteri-isterinya, sedangkan ia memiliki
sepuluh orang isteri. Maka Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan
untuk memilih empat orang isteri, beliau bersabda,
“Tetaplah engkau bersama keempat isterimu dan
ceraikanlah selebihnya.”
Juga
ketika ada seorang Shahabat bernama Qais bin al-Harits mengatakan bahwa ia akan
masuk Islam sedangkan ia memiliki delapan orang isteri. Maka ia mendatangi Nabi
shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan men-ceritakan keadaannya. Maka Nabi
shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
اخْتَرْ
مِنْهُنَّ أَرْبَعًا.
“Pilihlah empat orang dari mereka.”
D. Syarat Dan Rukun Nikah
Rukun nikah itu ada lima yaitu sebagai berikut:
1. Calon
Suami
Calon suami, dengan syarat:
a. Beragama
islam
b. Bukan
muhrimnya wanita, baik muhrim nasab, rodlo’, mushoharoh
c. Muhrim
nasabah ialah orang yang tidak boleh dinikahi karena keturunan.
d. Tidak
dipaksa atau terpaksa
e. Tidak
punya istri yang haram dimadu dengan bakal istrinya
f. Tidak
sedang ihram haji/umrah
2. Calon
Istri
Calon istri dengan syarat:
a. Beragama
islam
b. Tidak
bersuami atau tidak dalam masa iddah
c. Bukan
muhrimnya calon suami
d. Jelas
orangnya
e. Bukan
dalam keadaan berihram haji/umrah
f. Bukan
wanita musyrik.
3. Wali
Wali
adalah orang yang bertanggung jawab menikahkan pengantin perempuan, baik wali
nasab maupun wali hakim berhak menikahkan ,dengan syarat:
a. Beragam
islam
b.
Lelaki dan bukannya perempuan
c.
Baligh
d.
Dengan kerelaan sendiri dan bukan paksaan
e.
Bukan dalam ihram haji atau umrah
f.
Tidak fasiq
g.
Tidak cacat akal fikiran,gila, terlalu tua dan
sebagainya
h.
Merdeka
4. Dua
Orang Saksi
Syarat untuk menjadi saksi yaitu sebagai berikut:
a. Minimal
dua orang saksi
b. Islam
c. Baligh
d. Berakal
e. Merdeka
f. Laki-laki
g. Adil
5. Ijab
& Qabul
Ijab
ialah ucapan wali yang berisi pernyataan menikahkan anaknya atau yang menjadi
anak karena pertalian darah. Misalnya, saya nikahkan engkau dengan anak saya
bernama zahra binti Abdul Razaq dengan maskawin sebuah kitab suci Alqur’an dan
seperangkat alat salat tunai.
Kabul ialah ucapan salon suami yang
berisi penerimaan nikah dirinya dengan calon istrinya. Misalnya, saya terima
nikahnya Zahra binti Abdul Razaq dengan maskawin satu buah kitab suci Alqur’an
dan seperangkat alat salat dibayar tunai.
Mahar atau maskawin yaitu suatu pemberian oleh calon
suami kepada calon istri yang diserahkan pada saat akad nikah berlangsung.
Mahar bisa berupa benda apa saja, sepanjang benda itu memiliki manfaat bagi
penerimanya. Misalnya uang, emas, berlian, pakaian, kitab suci Alqur’an, atau
mungkin melaksanakan ibadah haji bersama. Memberikan mahar hukumnya wajib,
namun harus disesuaikan dengan kemampuan calon suami dan kesukaan calon istri.
Perhatikan firman Allah Swt berikut!
“
Dan berikanlah maskawin (mahar) kepada
perempuan (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian
jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang
hati, maka terimalah (dan nikmatilah) pemberian itu dengan senang hati”
(Q.S. An-Nisa, 4:4)
E. Tata Cara Pernikahan Dalam Hukum Negara
Indonesia
Tata cara melangsungkan
perkawinan berbeda antara agama yang satu dengan agama yang lain. Namun secara
garis besar tata cara melangsungkan perkawinan diatur dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang
pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 Tentang Perkawinan (PP 9/1975). Tata cara melangsungkan perkawinan terbagi
menjadi empat tahap. yaitu:
1. Laporan
2. Pengumuman
3. Pencegahan
4. Pelangsungan
Setiap
orang yang akan melangsungkan perkawinan terlebih dahulu memberitahukan kepada
Pegawai Pencatat di tempat perkawinan akan dilangsungkan paling lambat 10 hari
kerja sebelum perkawinan dilangsungkan. Pemberitahuan tersebut dilakukan secara
lisan atau tertulis oleh calon mempelai atau orang tua atau wakilnya.
Pemberitahuan tersebut memuat nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan, tempat
kediaman calon mempelai dan apabila salah seorang atau keduanya pernah kawin,
disebutkan nama istri atau suami terdahulu.
Pegawai
pencatat akan melakukan penelitian terhadap pemberitahuan tersebut. Apabila
tata cara dan syarat-syarat pemberitahuan telah dipenuhi dan tidak terdapat
halangan perkawinan, maka dilakukan pengumuman. Pengumuman ditempelkan di
tempat yang sudah ditentukan dan mudah dibaca oleh umum. Tujuan dari adanya
pemberitahuan dan pengumuman adalah:
1. Memberikan
kesempatam kepada pihak yang mengetahui adanya halangan perkawinan untuk
mencegahnya.
2. Menjamin
agar penjabat tidak begitu saja dengan mudahnya melangsungkan perkawinan,
3. Memberikan
perlindungan kepada calon suami istri dari perbuatan yang tergesa-gesa.
4. Mencegah
perkawinan klandistin.
5. Memberikan
kepastian tentang adanya perkawinan.
Perkawinan
dilangsungkan paling tidak 10 hari setelah dilakukannya pengumuman perkawinan. Apabila tidak ada pihak yang
melakukan pencegahan perkawinan, maka perkawinan dilakukan sesuai hukum agama
dan kepercayaan masing-masing dihadapan pegawai pencatat serta dihadiri oleh
dua orang saksi. Setelah perkawinan dilangsungkan, kedua mempelai, para saksi
dan pegawai pencatat memberikan tanda tangannya pada akta perkawinan. Khusus
untuk perkawinan yang dilangsungkan menurut agama islam, akta perkawinan juga
ditandatangani oleh wali nikah atau yang mewakilinya. Penandatanganan akta telah tercatat secara resmi. Akta perkawinan
dibuat dalam dua rangkap, yang pertama disimpan oleh pegawai pencatat,
sedangkan yang lainnya disimpan di panitera pengadilan dal wilayah kantor
pencatatan perkawinan itu berada. Sedangkan kepada suami dan istri masing-masing diberikan kutipan dari akta
perkawinan.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pernikahan merupakan suatu akad untuk menghalalkan
hubungan antara laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan kebahagiaan
hidup berkeluarga yang diridhoi oleh Allah SWT. Menurut sebagian
besar ulama hukum nikah pada dasarnya adalah mubah, artinya boleh dikerjakan
dan boleh ditinggalkan. Kemudian hukumnya bergantung pada kondisi atau keadaan
orang yang bersangkutan, hukum pernikahan terbagi ke dalam lima kategori hukum
yaitu mubah, sunnah, wajib, makruh dan
haram.
Allah
dan Rasul-Nya menjelaskan berbagai pernikahan yang dilarang dilakukan seperti nikah
syighar, nikah tahlil, nikah mut’ah, nikah dalam masa ‘iddah, nikah dengan
wanita kafir selain yahudi dan nasrani, nikah dengan wanita-wanita yang
diharamkan karena senasib atau hubungan kekeluargaan karena pernikahan, nikah
dengan wanita yang haram dinikahi disebabkan sepersusuan, nikah yang menghimpun
wanita dengan bibinya, baik dari pihak ayahnya maupun dari pihak ibunya, nikah
dengan isteri yang telah ditalak tiga, nikah dengan wanita yang masih bersuami,
nikah dengan wanita pezina/pelacur dan lain-lain.
Rukun nikah itu ada lima yaitu sebagai berikut: calon suami, calon istri, wali,
dua orang saksi, ijab dan qabul.
tata cara melangsungkan perkawinan diatur
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975
tentang pelaksanaan Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (PP 9/1975). Tata cara melangsungkan
perkawinan terbagi menjadi empat tahap. yaitu: laporan, pengumuman, pencegahan
dan pelangsungan.
B. Saran
Sebagai seorang muslim sebaiknya
melakukan jalan nikah untuk menghindari
dan menjauhkan perbuatan kearah
perzinahan. Dengan pernikahan dapat menghalalkan hubungan antara
laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan kebahagiaan hidup berkeluarga
yang diridhoi oleh Allah SWT. membuat kedua mempelai menjadi tentram dan damai.
DAFTAR PUSTAKA
Suryana
Toto, Alba Cecep, dan Syamsudin. 1996. Pendidikan
Agama Islam. Bandung: Tiga Mutiara.
Saminu.
2013. Pendidikan Agama Islam SMA/MA dan
SMK/MAK Kelas XII. Semarang: Viva Pakarindo.
Supriadi.
2015. Pendidikan Agama Islam Untuk
Perguruan Tinggi. Bandung: CV. Maulana Media Grafika.
www.jurnalhukum.com/tata-cara-melangsungkan-perkawinan/
Apa itu perkawinan klandistin
BalasHapus